Jumat, 29 April 2011

Bajak Laut di Sunda Kecil Pada Abad ke XVII-XIX

BAJAK LAUT DI PERAIRAN SUNDA KECIL PADA ABAD KE XVII - XIX
PAPER
1Husnul Yakin
Abstrack
Bajak Laut adalah salah satu bagian yang cukup penting dalam sejarah maritim di nusantara. Jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa di nusantara mereka telah eksis di perairan nusantara. Salah satunya adalah di perairan sunda kecil. Bajak laut disini banyak yang berasal dari orang-orang Bugis. Mereka sudah lama berperan dalam eksistensi pelayaran di daerah Sunda Kecil terutama pada abad XVII sampai abad XIX.
Kata Kunci : Bajak Laut, Sunda Kecil
Pendahuluan
Perompakan merupakan sebuah fenomena yang menarik sejak abad XIX di kawasan Asia Tenggara. Hal itu terbukti dari ditemukannya catatan mengenai bajak laut di berbagai sumber seperti dalam laporan perjalanan lintas laut, laporan kegiatan AL kolonial, buku panduan navigasi pada masa itu, nota dinas yang menyangkut keamanan pantai, buku cerita tentang pelayaran, dan jenis-jenis kepustakaan lain yang berkaitan dengan pelayaran pada abad XIX. Sumber-sumber tersebut selalu menyinggung adanya kegiatan bajak laut (zeeroof) di kawasan itu.
Bahkan arsip kolonial Belanda selalu menyediakan judul “bajak laut” meskipun adakalanya dalam tahun tertentu tidak ada berita mengenai bajak laut. Hal itu membuktikan bahwa masalah bajak laut pada masa itu sudah menjadi masalah rutin sehingga dirasa perlu menyediakan satu rubrik tersendiri setiap tahun dalam agenda administrasi kolonial. ( Lapian, 2009 )
Dalam paper ini akan lebih banyak membahas tentang sepak terjang Bajak Laut yang beroperasi di perairan Sunda Kecil yang lebih banyak dilakukan oleh Orang Bugis karena pada waktu itu mereka mempunyai peran yang cukup besar dalam menentukan kondisi pelayaran di kawasan Sunda Kecil ini.

Definisi Bajak Laut
Pada umumnya Bajak Laut didefinisikan sebagai orang yang melakukan tindakan kekerasabn di laut. Untuk membedakannya dari petugas negara yang juga menggunakan kekerasan dilaut dan bertindak atas nama negara, maka dibuat pembatasan bahwa yang diartikan sebagai Bajak Laut adalah orang yang melakukan kekerasan di laut tanpa mendapat wewenang dari pemerintah untuk melakukan tindakan itu. Dengan kata lain, perbuatan itu dilakukan untuk kepentingan pribadi atau kepentingan suatu kelompok tertentu. Dalam hal ini, ia melanggar hukum negara dan dianggap sebagai seorang kriminal.
Dalam hukum internasional, definisi ini dirumuskan lebih lanjut lagi dengan menegaskan bahwa apa yang disebut tindakan Bajak Laut adalah sutu tindakan kekerasan tanpa diberi wewenang suatu pemerintah tertentu diperairan bebas, yakni di laut yang terletak diluar yurisdiksi suatu negara tertentu. Karena tindakan demikian dianggap sebagai suatu pelanggaran atau kejahatan terhadap seluruh umat manusia, maka pelaku dapat diadili oleh tiap negara walaupun pelanggaran ini terjadi di perairan bebas.
Dalam bahasa Indonesia selain kata ‘perompak’ atau ‘perompak laut’ dan ‘bajak laut’, dikenal pula kata ‘lanun’ ( sering kali disebut pula ‘perompak lanun’ ). Kata ini berasal dari nama Ilanun atau Iranun, yaitu nama salah satu suku bangsa di Filipina Selatan. Dalam kamus bahasa-bahasa daerah di bagian timur Nusantara ditemukan pula bahwa untuk pengertian bajak laut dipakai nama-nama suku bangsa di Filipina Selatan juga, yakni ‘ Lanong’. Disamping itu, ada nama ‘Tobelo’, ‘Belo’, atau ‘pabelo’ yang merupakan suku bangsa yang berasal dari Halmahera.
  1. Bajak laut
    Bajak laut (pirate) adalah para perampok di laut yang bertindak di luar segala hukum. Kata pirate berasal dari bahasa Yunani yang berarti 'yang menyerang', 'yang merampok'. Dalam Bahasa Indonesia dan Melayu sebutan lain untuk bajak laut, lanun, berasal dari nama lain salah satu suku maritim di Indonesia dan Malaysia, Orang Laut.
    Tujuan mereka tidak bersifat politik, mereka mencari keuntungan sendiri dan tidak melayani siapapun kecuali di bawah bendera Jolly Roger (bendera bajak laut). Banyak dari corsario (corsair) berubah profesi menjadi bajak laut selama periode perdamaian antara Spanyol dan Inggris.
    Target utama penyerangan para bajak laut adalah sebagian besar kapal-kapal (dan juga daerah-daerah kolonial) yang berada di bawah kekuasaan Spanyol atau Portugis. Ini adalah suatu hal yang logis karena kedua kerajaan tersebut itulah yang memonopoli perdagangan antara Eropa dan Dunia Baru.
    Kapal-kapal yang mengangkut emas dan perak dari Amerika merupakan sasaran empuk para bajak laut.
  2. Corsario
    Kapal corsario (corsair) adalah kapal yang berlaut atas perintah dari seorang raja dan melakukan aksi-aksi perang melawan kepentingan kerajaan musuh (biasanya mencoba untuk melemahkan kekuasaan komersial dan kolonial).Para corsair ini dalam kekuasannya memiliki dokumen-dokumen yang memberikan kuasa kepada kapal yang dikendalikannya untuk berbuat aksi-aksi perang tersebut.
    Dokumen-dokumen tersebut dinamakan Letter of marque atau Patente de Corso. Batasan-batasan yang digariskan pada dokumen tersebut sangat kabur (tidak jelas) dan biasanya kapten-kapten corsario dan tripulasinya itulah yang memutuskan apa yang bisa mereka perbuat dan apa yang dilarang.Kekuasaan corsario dianugerahkan oleh seorang raja, walaupun dalam prakteknya biasanya, raja mendelegasikan pada seorang gubernur.
    Pada periode peperangan, delegasi corsario sering dipakai dalam ekspedisi-ekspedisi untuk melawan kepentingan musuh yang berpotensi.Ketika ini terjadi, kapten-kapten tersebut dan tripulasinya diwajibkan untuk menyerahkan semua rampasan hartanya kepada kerajaan terkecuali sebagian kecil (yang mungkin bisa seperlima atau lebih).
    Ketika kapal-kapal corsair tidak menjadi bagian dari suatu misi kerajan, mereka biasanya menyerang kapal apa saja selama ini tidak berbendera sama dengan kerajaan dari mana mereka berasal.Mereka beraksi seperti layaknya bajak laut namun masih menyimpan hak-hak berlaut yang bersifat corso (dilindungi oleh satu kerajaan). Harta rampasan yang diperoleh dengan cara ini adalah untuk mereka, walaupun diwajibkan untuk menyerahkan satu bagian untuk pemerintah koloni dari mana mereka berasal.Kapal-kapal corsair bisa dianggap sebagai pelabuhan aman bagi mereka yang berasal dari negara/kerajaan yang sama, dan lagi mereka mendapatkan perlindungan.
    Para corsair tak dapat dihukum gantung karena alasan pembajakan karena mereka mempunyai "izin" (kuasa hukum corso) yang dikeluarkan oleh kerajaan. Kenyataannya jelas seorang corsair yang dikejar oleh musuh, tidak dapat mempercayai hal ini, karena ada kebiasaan menghukum gantung corsair musuh.
  3. Bucanero
    Definisi ini mulai dikenal pada sebagian koloni Perancis yang telah berdiri pada bagian barat koloni Spanyol (sekarang Haití). Mereka mendapatkan nama bucaneros (buccaneers), berasal dari kata Indian, bucan, yang merujuk pada tempat di mana daging diasapkan, dengan cara membakar kayu hijau di bawah beberapa tongkat dengan bentuk panggangan, yang mendapat nama barbeque.Di bagian pulau yang tidak terhuni (bagian timur dihuni oleh orang Spanyol) terjadi reproduksi secara luar biasa hewan banteng dan sapi dan para bucanero bekerja menangkap mereka untuk nantinya dijual kulit dan daging asapnya kepada kapal-kapal yang menghargai rasa dan ketahanan dari daging asap ini.
    Para bucanero hidup dalam alam bebas, tidak ada seorangpun yang memerintah atau menguasai mereka. Ini mengundang segala jenis orang yang diusir, buronan, budak, Indian pemberontak, dan orang-orang yang dikejar oleh agama.
    Jumlah bucanero ini bertambah dan pada tahun 1620 mereka mulai dikejar oleh orang-orang Spanyol. Mereka memutuskan untuk berbuat perampokan kecil di laut dan mendirikan pangkalan operasi di pulau Tortuga, dekat dengan koloni Spanyol.
    Pengakuan akan keberadaan mereka oleh Le Vasseur sebagai pemerintah pulau itu dan berangkat dari kepentingan riilnya, membawa mereka untuk berasosiasi dalam "Hermandad de la Costa" atau “persaudaraan daratan pantai” yang akan memunculkan asal dari filibusteros.

  4. Filibustero
    Karena di pulau Tortuga tidak terdapat buruan, para bucanero berhadapan dengan sebuah dilema untuk terus hidup: pergi dengan Canoa untuk berburu di teritori Spanyol atau mendedikasikan diri pada pembajakan.
    Mereka yang memilih pilihan terakhir dinamakan filibusteros (freebooter). Kata Filibustero berasal dari bahasa Belanda Vrij Buiter (”yang merampas harta” atau dalam bahasa Inggris, freebooter).Setelah mendapat pelajaran keras yang mereka dapatkan setelah diusir dari koloni Spanyol, para freebooter ini mengerti bahwa adalah perlu untuk bersatu jika mereka ingin melawan akan adanya kemungkinan risiko.
    Kebiasaan hidup dengan kemerdekaan yang penuh, membuat mereka tidak mengizinkan untuk diperintah oleh hukum, norma dan orang-orang di atas mereka. Maka lahirlah perkumpulan persaudaraan itu. Para filibusteros ini menyerang kapal apa saja, dari kerajaan manapun, walaupun kapal-kapal spanyolah yang sering menjadi korban mereka.
    Mereka seringkali menggunakan kapal kecil, sangat ringan dan mudah dikendalikan dan seringkali mereka dimodali dan didukung secara ekstra oficial oleh potensi-potensi dari Eropa dengan kepentingan untuk melemahkan perdagangan musuh.Mereka seringkali menggagalkan perdangan antarkoloni dan didongengkan akan aktuasi-aktuasi mereka yang berani dengan senjata yang minim dan tripulasi yang sedikit, mereka menyerang galeon-galeon kapal besar yang dipersenjatai secara luar biasa, yang mengangkut emas.
5. Engagé
Engagé adalah kata Perancis yang artinya 'yang terlibat', 'yang berkomitmen', atau 'yang siap bekerja'.Seorang engagé artinya adalah seseorang bebas yang menandatangani kontrak selama 3 tahun di mana dia diwajibkan bekerja sebagai pembantu untuk orang ketiga, dengan kondisi yang sama halnya dengan perbudakan.
Ini biasanya terjadi selama 2 tahun pertama kontrak, kondisi kerjanya bagus, namun seringkali mereka diharuskan bekerja dalam kondisi yang keras selama etapa terakhir dari kontraknya yang mewajibkan mereka ditarik kembali/dikontrak lagi sebagai syarat perbaikan kondisi kerja mereka.
( Wikipedia.com )
Bajak Laut dari dulu merupakan momok yang menakutkan di lautan. Hal ini disebabkan karena mereka tidak segan-segan merampas dan membunuh mangsanya di lautan. Terutama yang sering menjadi korban adalah para pedagang yang sedang berlayar.
Asia Tenggara merupakan salah satu daerah perompakan dari berbagai macam Bajak Laut. Perompakan sudah lama berlangsung di perairan Asia Tenggara. Selama abad ke-19 Selat Malaka telah lama menjadi jalur laut penting bagi kapal-kapal yang berlayar dari India dan dari Atas Angin ke Tiongkok. Nusantara dipenuhi oleh ribuan pulau, selat-selat sempit, dan muara sungai, yang semuanya menjadi tempat persembunyian sempurna untuk perompak. Fakta geografi ini, beserta dengan faktor-faktor lain, memudahkan perompakan: geografi Kepulauan Nusantara membuat patroli laut menjadi tugas yang sangat sulit.
Perompak tradisional di Asia Tenggara adalah Orang Laut, atau disebut juga Lanun. Mereka bermukim di perkampungan pesisir negara Malaysia, Indonesia, dan Filipina modern.
Bajak laut Tionghoa juga ditemukan dalam jumlah berarti, biasanya orang-orang terbuang dari masyarakat Tiongkok masa dinasti Ching. Mereka menemukan relung dengan memangsa kapal-kapal yang berdagang di Laut China Selatan dengan menggunakan Kapal Jung.
Perompakan juga dapat dilihat sebagai bentuk peperangan yang dilakukan penduduk asli untuk melawan pengaruh Eropa, yang merusak tatanan tradisional masyarakat pedagang di Asia Tenggara.
Peta Bajak Laut Nusantara
Sumber : Lapian, 2009 : 116
Bajak Laut di Perairan Sunda Kecil
Kedatangan Orang Bugis ke Sunda kecil mudah diterima oleh raja-raja karena orang Bugis ini mempunyai reputasi di laut dan juga reputasi dalam bidang militer. Reputasi dilaut karena kepandaiannya menguasai laut dan pelayaran dapat dimanfaatkan oleh raja pantai. Bugis merupakan salah satu suku bangsa pelaut yang sudah lama mengembangkan kebudayaan maritim. Mereka juga mempunyai kemampuan karena memiliki kapal dagang sendiri yang lebih memungkinkan mereka dapat menguasai perekonomian kerajaan. Baik sebagai pedagang, perantara, eksportir, importir maupun sebagai pedagang rentenir.
Orang Bugis sudah menetap di Bali atau paling sedikit telah menyinggahinya sekitar Abad ke XVII, yang dalam sumber daerah disebut Wong Nusantara, yang artinya orang asing. Yang dimaksud orang Asing disini adalah Orang Bugis, China dan Arab.
Daerah sunda kecil merupakan daerah yang cukup strategis bagi daerah operasi bajak laut Bugis. Terutama di Bali. Pada masa pemerintahan Dalem Segening dari Gelgel, Bali mengalami masa kejayaan yaitu dengan menguasai seluruh Bali dan Lombok. Pada masa ini ada indikasi sepak terjang dari pelaut Bugis yang melakukan huru hara di Desa Tulamben. Bajak laut itu adalah para pelarian dari Makasar.
Sumbawa dan Lombok juga dijadikan pangkalan oleh tiga orang bangsawan Bugis yakni Daeng Tellolo, Kraeng Jerenika dan Pemelikan dan terus-menerus memerangi VOC dan kerajaan di bagian Timur setelah jatuhnya Makassar 1667. Pada tahun 1678, orang Bugis di Sumbawa telah mempunyai kedudukan kuat. Mereka membantu raja Sumbawa dalam perang melawan kerajaan Karangasem-Lombok.
Penaklukan Blambangan oleh Panji Sakti 1679 juga memakai bantuan orang Bugis yang bermarkas di Teluk Pampang-Blambangan. Sisa laskar Bugis ini dibawa ke Buleleng dan menetap di sana. Masyarakat setempat sering menyebut mereka orang Jawa, yang sesungguhnya orang Bugis.
F. Valentin menulis bahwa pelaut Makasar bernama Karaeng Samarluka atau Karaeng Tunilabu Ri Suriwa pada tahun 1420 telah berdagang sampai ke Malaka, dengan kira-kira 200 perahu terutama memuat beras dibawa ke Malaka. Untuk pengamanan dari perampokan di laut, perahu-perahu mereka dipersenjatai dengan meriam.
Setelah jatuhnya Makassar, banyak bangsawan Bugis yang meninggaIkan daerah kelahirannya sambi! melanjutkan perjuangan melawan Belanda. Dapat disebutkan di sini seperti La'Madukeleng keturunan Sultan Wajo yang berpetualang sampai Malaka; Kraeng Galesung yang melarikan diri ke Jawa dan kemudian bergabung dengan pasukan Trunajaya. Mereka dikejar-kejar oleh armada Belanda. Bahkan Belanda mengumumkan barang siapa yang menangkap perahu-perahu bersenjata ini yang dianggap sebagai pembajak (istilah Belanda), akan diberi hadiah.
Di antara pelarian-pelarian ini ada yang bersembunyi di Blambangan yang aman dari incaran Belanda. Orang Bugis ini mem­bantu Blambangan yang pada waktu itu di bawah kekuasaan Mengwi dalam menghadapi tentara VOC. Dalam perang ini, pasukan Mengwi­-Bugis mengalami kekalahan dan pelabuhan dagang teluk Pampang dihancurkan VOC tahun 1676, sehingga menyebabkan orang Bugis menyebar ke Bali.
Sampai abad XVIII pantai Blambangan masih dipakai sebagai tempat persembunyian "bajak laut" Bugis. Tahun 1758 sebuah perahu Inggris dibajak dekat Lumajang. Sebelumnya tahun 1666, sebuah perahu Kompeni yang sedang berlabuh dekat Bandar Surabaya dirampas oleh orang Bugis di bawah Intjehehogah. Sampai tahun 1685 Ujung Timur Jawa Timur (Oosthoek) terdapat pembajak orang Bugis-Makassar yang disegani yang banyak merampok, membunuh dan menganggu pelayaran
Van der Tuuk meneatat bahwa orang Bugis juga mendarat di pantai Lingga di muara sungai Banyumala-Buleleng. Setelah beberapa lama, Aji Mampa dengan pengikutnya terpaksa meninggalkan pantai Lingga karena mereka tetap dianggap sebagai bajak laut oleh penduduk setempatll. Orang Bugis ini terus menyusur ke Timur dan menetap di sebuah kampung, yang sampai sekarang dinamai Kampung Bugis.
Di kerajaan Badung, pedagang Bugis telah lama bermukim di pulau Serangan. Salah satu pelabuhan yang penting di kerajaan Badung. Kepala kelompok pedagang ini diberi gelar oleh raja Badung puak Gede atau Puak Matuwa. Istilah Matoa atau Matuwa sekitar abad XVII-XVIII juga dikenal di tempat-tempat lain. Sejak abad XVII di Makassar, Passer (Kutai), Sumbawa telah dilantik Matoa untuk mewakili kepentingan dagang seluruh orang Bugis-Wajo di sekitarnya
Dibandingkan dengan penduduk asli, jumlah orang Bugis pada abad XIX sebenarnya sangat keeil. Di Jembrana bermukim 150 kepala keluarga orang Bugis, hal ini telah dihaneurkannya 1.200 orang Bugis bersenjata oleh Buleleng pada tahun 1808. Kalau dibandingkan dengan penduduk Bali yang berjumlah 6.241 kepala keluarga, jumlah orang Bugis ini tidak berarti, namun mereka eukup menentukan dalam kehidupan kerajaan.
Di pelabuhan Pabean bermukim 4.000 orang pedagang yang sebagian besar orang Bugis. Di pelabuhan Sangsit bermukim 1.200 orang pedagang, juga sebagian besar terdiri dari orang Bugis. Di pelabuhan Petemon, Celukanbawang tidak diketahui jumlahnya dengan pasti. Setelah terjadi bencana alam gempa bumi dan air bah tahun 1815 penduduk di pantai utara ini semuanya habis karena air laut naik. Tetapi perkampungan orang Bugis dibangun lagi, dan tahun 1823 di Pabean sudah mencapai 2.000 orang. Di Kuta, sebuah kota dagang yang ramai di Bali Selatan bermukim 150 kepala keluarga Bugis, yang sering disebut orang Bali Islam. Hal ini karena sulit membedakan orang Bugis dengan orang Bali, kecuali perbedaan agama yang dianutnya. Di desa-desa pantai Bali Selatan, juga banyak bermukim orang Bugis dan beberapa pemeluk agama Islam lainnya yang tidak dapat diketahui jumlahnya dengan pasti.
Sebelum masuknya Belanda ke Bali ekspor utama dari Bali adalah budak belian. Perdagangan budak memang memberikan keuntungan yang besar terutama bagi para raja dan bangsawan. Jika panen padi mengalami kegagalan, maka volume perdagangan budak akan meningkat. Memang benar pendapat Nielsen dalam tulisannya tentang Bali, bahwa dalam abad XVII-XIX seluruhnya berkisar pada masalah perbudakan Dalam perdagangan budak ini yang beraktivitas terutama pedagang Bugis.
Perahu-perahu Bugis juga mengangkut beras dari Lombok terutama ke Bali Utara. Bali Utara daerahnya banyak pegunungan, sehingga hasil pertaniannya sangat kurang. Kalau panen gagal penduduk sangat tergantung pada impor beras dari Jawa dan Lombok.
Perdagangan budak mulai berangsur-angsur berkurang setelah tahun 1830, tetapi di sana-sini pedagang Bugis masih melakukannya. Meskipun perdagangan budak secara resmi telah dilarang, tetapi di Bali sukar dihapuskan, sampai tahun 1856 pedagang Bugis secara sembunyi­sembunyi masih memperdagangkan budak, terutama dari kerajaan Badung. Tiap-tiap perahu Bugis biasanya membawa dua budak wanita dan dua budak laki-Iaki yang biasanya diperdagangkan sampai Singapura. Pemerintah mengalami kesulitan untuk mem-berantasnya,
Menurut laporan Mackenzie Residen Banyuwangi pada masa pemerintahan Raffles, pelayaran di Selatan Bali tidak pernah aman dari gangguan bajak laut. la menganjurkan pemerintah untuk membangun pos pengawasan dengan pasukan yang kuat untuk menghadapi orang Bugis ini. Selat Bali tetap menjadi pusat penyelundupan candu ke Jawa dan menjadi tempat persembunyian para bajak laut Bugis. Pangeran Said Hassan Al Habachi yang menjadi utusan Belanda ke Bali dan Lombok melaporkan terdapat kurang lebih 90 buah perahu bajak laut yang bermarkas di sebelah Timur pesisir Jawa Timur43. Menurutnya Bali akan tetap menjadi tempat persembunyian para bajak laut, dan pemerintah harus cepat turun tangan membersihkan kawasan ini. ( Suwitha, 2001 : 129 )
Pemerintah kemudian mengirim kapal de Komeet untuk meng­hadapinya. Namun, mengalami kesulitan menangkap, perahunya gesit dan lincah. Tahun 1827 kapal Iris di bawah Leman Brodie ditugaskan melakukan pengejaran dan pembersihan. Usaha ini berhasil. Pada tahun 1828, mereka meninggalkan Selat Bali. Sebagian dari mereka menuju pulau Kangean dan Pulau Laut, tetapi perairan Bali tetap tidak aman akibat ulah mereka. Di pulau Kangean ratusan pedagang Bugis ber­mukim di rumah penduduk yang dibangun di atas tiang, yang berha­dapan dengan rumah orang Jawa dan Madura. Bajak laut Bugis sangat berani dan pandai mencari mangsa dengan beroperasi di lautan lepas. Mereka gesit dalam menjalankan tugas di laut, tahu cara menahan kapal dengan jarak tertentu dari pantai, terutama terhadap orang-orang asing. ( Suwitha, 2001 : 130 )
Aktivitas orang Bugis di Lombok pada abad XVIII sudah menonjol. Pelabuhan-pelabuhan di Lombok Timur seperti: Bati, Saboaji (Labuh Haji) dan Piju (Pku) terdapat banyak orang Bugis. Di Ampenan, Lombok Barat, pelabuhan ini pada abad XVIII masih kecil dan baru muncul pada awal abad XIX, merupakan desa yang banyak dihuni oleh orang Bugis dan orang Bugis hampir datang pada setiap pelabuhan di Lombok. Riel melaporkan beberapa perahu Bugis secara berkala berlayar dari Ampenan, Labuhan Tring ke Padang Raja
Kemudian pada awal-awal abad XIX di Lombok Barat muncul dua pelabuhan yang penting yaitu pelabuhan Tanjung Karang dan Ampenan. Tanjung Karang merupakan pelabuhan kerajaan Karangasem Sasak, sedangkan Ampenan adalah pelabuhan kerajaan Mataram. Muncul juga pelabuhan Padang Reak (Reja) agak ke Utara, hampir semua syahbandarnya adalah orang Bugis. Demikian juga Bandar-Bandar yang lebih kecil di Lombok Timur di bawah kekuasaan orang Bugis. Bandar adalah kepala pelabuhan kecil yang berada di bawah Syahbandar (di Lombok juga disebut Subandar), seperti bandar Baba Jawa, bandar Barade (orang Bugis).
Lalu lintas perdagangan di Lombok sangat tergantung pada peredaran angin musim. Angin musim tenggara yang berembus dari bulan Mei-November membuat pelabuhan Ampenan menjadi sangat tenang dan bagi berlabuhnya kapl-kapl dagang. Apabila angin musim barat berembus dari bulan Desember-April, maka gelombang air laut dipantai barat Lombok menjadi besar, sehingga kapal-kapal dapat berlabuh di Pelabuhan Tring.
Di Lombok seorang petualang Bugis Anachoda Ismaila dengan dua ratus orang pasukannya setiap saat menganggu para pedagang di kawasan ini. Ia bersekutu dengan raja Mataram dan G.P King seorang subandar Inggris yang telah bermukim di Lombok. la menjadi pengawal yang tetap raja Mataram dalam setiap pertempuran. Kapal-kapal yang berlabuh di Selat Lombok menjadi sasaran gerombolan ini. Sunda Kedl merupakan tempat operasi orang Bugis ini, karena kekuatan Belanda di kawasan ini relatif lemah.
G.P King adalah seorang pedagang yang bersal dari Inggris. Dia datang ke Lombok pada tahun 1832 yang selanjutnya tinggal di Lombok. Ia melakukan perdagangan berpindah-pindah antara Bali dan Lombok. Pada tahun 1835 King berhasil mendapat izin berdagang dari Raja Mataram. Dengan syarat harus membayar 2.000 gulden setiap tahun kepada raja. King juga mengadakan persekutuan dengan perusahaan Jardin Matheson & Co.
( Parimarta, 1993 : 62 )
Pada waktu terjadi pertikaian di Jembrana, orang Bugis me­mainkan peranan yang penting membantu seorang Punggawa I Gusti Ngurah Pasekan memberontak raja. Pasekan sebenamya digerakkan oleh kekuatan orang Bugis akhirnya mendapatkan kemenangan. Dalam sumber-sumber gerakan orang Bugis di Jembrana membantu Pasekan sering disebut gerakan Islam atau Islam movement.
I Gusti Ketut Jelantik patih yang menentukan kerajaan Buleleng melihat potensi dari pada orang Bugis ini. Di Jembrana membentuk pasukan orang Bugis di bawah pimpinan Pan Kelab, untuk mem­persiapkan menghadapi serangan Belanda. Pasukan ini turut membantu Jelantik dalam perang Buleleng tahun 1846. Setelah Buleleng jatuh, pasukan Bugis ini dapat menyelamatkan diri kembali ke Jembrana. Jelantik sendiri mempunyai kepercayaan dan pengawal yang tetap terdiri dari orang Bugis, seperti juga raja Badung mempunyai pengawal orang Bugis dan pulau Serangan.
Zollinger dalam perjalanannya ke Bali, turut serta menyaksikan peristiwa penyerangan Buleleng. Menurut laporannya, tanggal 28 Juni 1846 Singaraja mulai ditembaki kapal-kapal Belanda yang berlabuh di Buleleng. Turut serta membantu penyerangan ini kapal King dari Lombok yang mengangkut pasukan-pasukan orang Sasak dan Bugis daTi Bali. Sebuah perahu Bugis yang bertiang dua dan dua buah perahu Bugis yang besar, yang juga berisi pasukan orang Bugis.
Dalam geguritan Uwung Buleleng disebutkan sebelum pe­perangan, orang Bugis sibuk membuat benteng pertahanan dengan pasukan Jelantik. Benteng Buleleng dipertahankan Jelantik dengan bantuan laskar Bugis. Serdadu Belanda dengan kekuatan 600 marinir mengepung benteng dari kiri kanan. Dalam pertempuran satu lawan satu pertahanan terakhir rakyat Buleleng ini dapat direbut, dengan korban empat puluh orang pasukan Bugis dan 59 serdadu Belanda tewas dan beberapa orang yang luka-Iuka. Disebutkan bahwa orang Bugis di Buleleng terbagi menjadi dua kelompok. Pertama mereka yang berada di pihak Buleleng dan ikut aktif dalam peperangan mempertahankan Buleleng. Kelompok kedua mereka yang berada di pihak netral tetapi ikut menyoraki kekalahan Buleleng, pihak ini pula yang memanfaatkan kesempatan merampas harta benda setelah perang selesai.
Besoknya 29 Juni Belanda mulai memasuki kompleks puri, setelah sebelumnya membakar rumah-rumah di sekitarnya, termasuk perkampungan orang Bugis yang ditinggalkan untuk menyelamatkan diri. Di kampung Bugis ini diketemukan puing-puing Al Qur'an yang berbahasa Arab, juga dapat direbut panji-panji perang. Seorang Bugis yang paham hetul tentang lokasi medan memberikan penjelasan secara detail mengenai keadaan sekitar Singaraja. Peranan orang Bugis dalam bidang pemerintahan (politik) tidak begitu berarti tetapi ada beberapa individu yang bergerak dalam hal ini.
Mustika 1855 mewakili masyarakat Bugis Jembrana bertindak sebagai punggawa, menghadap kontrolir di Singaraja memprotes tindakan raja I Gusti Ngurah Paseban yang memerintah dengan sewenang-wenang.
Pada tahun 1860 dari 29 desa di Jembrana, empat desa teruntuk desa-desa orang Islam Bugis yakni desa-desa Air Kuning, Banyubiru, Pengambengan, dan Loloan dengan kepala desa masing-masing: Ider, Kamar, Bun, Mustika. Mereka juga telah menjadi anggota subak yang aktif sekaligus turut menjadi mengurusnya.
Perampokan terhadap perahu-perahu masih tetap terjadi, bahkan sering disertai dengan pembunuhan. Tahun 1830 kampung Cina di Kuta terbakar, banyak barang yang dirampok. Tahun 1835 Kapten Michielsen telah mengunjungi beberapa pelabuhan di Bali dan sempat berperang dengan bajak laut yang masih berkeliaran. Bahkan pada bulan Juli 1845 kapal Belanda yang terdampar di Serangan dirampas oleh orang Bugis.
Apabila kita melihat Sumbawa, rupanya sejak abad XVII daerah ini terutama pesisir utara telah menjadi pengaruh yang kuat dari kerajaan Makassar (Goa). Menurut H. Geertz, yang mengutip Goethals, selama 400 tahun yang lalu, hampir sepanjang waktu, pantai utara Sumbawa telah mengalami dominasi orang-orang Makassar dalam berbagai bentuk. Pada waktu tertentu, daerah ini diperintah langsung oleh Makassar. Pada waktu yang lain hanya diperintah oleh "bajak Iaut" yang datang menyerang. Dalam buku harian tulisan tangan yang diketemukan di Bima, disebutkan Bima abad XVIII mempunyai hubungan yang erat dengan daerah Sulawesi Selatan, terutama dengan kerajaan Makassar. Raja-raja Bima dan seluruh keluarganya mempunyai hu­bungan darah yang dekat dengan bangsawan Makassar.
Pada tahun 1624, raja Segening dari Gelgel (Bali) pemah mengadakan perjanjian dengan Sultan Alaudin, raja Makassar mengenai pembagian kekuasaan di sebelah Timur. Tetapi perjanjian tahun 1624 itu tidak kekal. Rupanya perjanjian itu retak karena perebutan wilayah kekuasaan antara kedua kerajaan di Sumbawa menjadi sebab terputus­nya perjanjian. Pada tahun 1632 kerajaan Makassar dan Bali ada dalam keadaan permusuhan. Selanjutnya Sumbawa yang menjadi daerah perebutan, akhirnya menjadi daerah takluk Makassar dan kemudian menjadi daerah pengaruh yang kuat kerajaan Makasaar.
Hal yang menyebabkan tidak kekalnya perjanjian diatas adalah penaklukan kerajaan Goa atas Kerajaan Bima, Kerajaan Tambora dan Kerajaan Sanggar serta Dompu pada tahun 1633. Tindakan kerajaan Goa ini sesungguhnya telah melanggar perjanjian antara kerajaan Goa dengan kerajaan Gelgel. Namun pada waktu itu tidak diperhatikan oleh kerajaan Gelgel karena pada waktu itu kerajaan ini masih berkonsentrasi melawan Kerajaan Mataram di Lombok. ( Lukman, 2005 : 18 )
Apabila kita lihat perjanjian Bungaya atau Cappayari Bungaya atau dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah Het Bongaisch Verdracht, yang ditanda tangani 18 Nopember 1667, dalam pasal 14 menyebutkan bahwa kerajaan Goa harus menyerahkan Bima dan daerah taklukan­nya.
Pada masa pemerintahan Raja Goa ke-9, Daeng Matanra Karaeng Tumapkrisi Kallonna yang memerintah 1510-1546 berhasil memper­besar pelabuhan Makassar. Pada waktu itu pelabuhan Makassar ber­kembang sangat pesat setelah jatuhnya Malaka pada tahun 1511. Demikian pula hubungan Makassar dengan kerajaan-kerajaan lain makin maju seiring dengan majunya perdagangan, karena Makassar telah memiliki armada perahu dagang yang bersenjata dengan meriam­-meriam, sehingga jaya di laut. Demikian pula untuk melindungi daerah taklukannya, seperti Temate, Ambon, Gorontalo, Timor dan Sumbawa. ( Suwitha, 2001 )
Apabila kita hubungkan aktivitas militer orang Bugis ini, baik sebagai perampok di laut atau aktivitasnya membantu raja di kawasan ini, menunjukkan orang Bugis ini sangat pemberani. Sunda Kecil merupakan operasinya karena kekuatan Belanda di kawasan ini relatif lemah. Dalam perang Mengwi-Badung tahun 1891 orang Bugis dari Pulau Serangan juga berperan menentukan kemenangan kerajaan Badung.

Kesimpulan
Bajak Laut di seluruh Dunia mempunyai beberapa sebuatan tergantung dari daerah atau kawasan temapt mereka beroperasi Seperti : Bajak Laut, Corsario, Bucanerom, Filibustero
Kedatangan Orang Bugis ke Sunda kecil mudah diterima oleh raja-raja karena orang Bugis ini mempunyai reputasi di laut dan juga reputasi dalam bidang militer. Reputasi dilaut karena kepandaiannya menguasai laut dan pelayaran dapat dimanfaatkan oleh raja pantai. Bugis merupakan salah satu suku bangsa pelaut yang sudah lama mengembangkan kebudayaan maritim. Mereka juga mempunyai kemampuan karena memiliki kapal dagang sendiri yang lebih memungkinkan mereka dapat menguasai perekonomian kerajaan. Baik sebagai pedagang, perantara, eksportir, importir maupun sebagai pedagang rentenir.
Sunda kecil merupakan salah satu tempat yang sangat menguntungkan bagi para Bajak Laut karena daerah ini merupakan daerah yang pengamanannya relatif renggang oleh pemerintah VOC dan Hindia Belanda pada waktu itu. Kebanyakan dari bajak laut ini berasal dari Orang Bugis karena mereka pada waktu itu sangat menguasai pelayaran dan perdagangan dikawasan ini. Orang Bugis ada juga yang melakukan kolaborasi dengan penguasa di kawasan ini untuk melawan pemerintahan VOC dan Kolonial Belanda pada waktu itu.
Daftar Rujukan
Lapian, B. Adrian. 2009. ORANG LAUT BAJAK LAUT RAJA LAUT : Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX. Jakarta : Komunitas Bambu
Lukman, Lalu. 2005. Pulau LOMBOK dalam SEJARAH : DITINJAU DARI ASPEK BUDAYA : Jakarta : Depdikdud
Suwitha, I Gede Putu. 2001. ARUNG SAMUDRA : Persembahan Sembilan Windu A. B Lapian. Jakarta : Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Lembaga Penelitian UI
Parimarta, I Gede. POLITIK DAN PERDAGANGAN DI LOMBOK ABAD XIX : Artikel di SEJARAH : Pemikiran Rekonstruksi, Persepsi. Jakrata : MSI dan PT Gramedia Pustaka Utama
Agung, Anak Ketut. 1990. KUPU KUPU KUNING YANG TERBANG DI SELAT LOMBOK : Lintasan Sejarah Kerajaan Karang Asem ( 1661-1950 ). Jakarta : Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan
Http: www.wikipedia+bajak+laut+di+dunia.html. Diakses pada tanggal 1 Desember 2010 pukul 19.45




1 Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Sejarah Angkatan 2007 Off B. Ditulis untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Maritim yang dibina oleh Dr. Abdul Latief Bustami

Tidak ada komentar:

Posting Komentar