Jumat, 29 April 2011

Tugas Sejarah

INDONESIA PADA MASA ORDE BARU
Tugas Sejarah
XI IPA 6
nama kelompok :
Anggi Aprilia P (02)
Atthiyah N.M (05)
Hesti Diana R. P (12)
Nancy Rahmadhani (18)
Satya Anggraeny (24)

Guru PPL : Husnul Yakin




I. LATAR BELAKANG LAHIRNYA ORDE BARU
Orde baru merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk memisahkan antara kekuasaan masa Sukarno(Orde Lama) dengan masa Suharto. Sebagai masa yang menandai sebuah masa baru setelah pemberontakan PKI tahun 1965.
Orde baru lahir sebagai upaya untuk :
Mengoreksi total penyimpangan yang dilakukan pada masa Orde Lama.
Penataan kembali seluruh aspek kehidupan rakyat, bangsa, dan negara Indonesia.
Melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Menyusun kembali kekuatan bangsa untuk menumbuhkan stabilitas nasional guna mempercepat proses pembangunan bangsa.
Latar belakang lahirnya Orde Baru :
1. Terjadinya peristiwa Gerakan 30 September 1965.
2. Keadaan politik dan keamanan negara menjadi kacau karena peristiwa Gerakan 30 September 1965 ditambah adanya konflik di angkatan darat yang sudah berlangsung lama.
3. Keadaan perekonomian semakin memburuk dimana inflasi mencapai 600% sedangkan upaya pemerintah melakukan devaluasi rupiah dan kenaikan harga bahan bakar menyebabkan timbulnya keresahan masyarakat.
4. Reaksi keras dan meluas dari masyarakat yang mengutuk peristiwa pembunuhan besar-besaran yang dilakukan oleh PKI. Rakyat melakukan demonstrasi menuntut agar PKI berserta Organisasi Masanya dibubarkan serta tokoh-tokohnya diadili.
5. Kesatuan aksi (KAMI,KAPI,KAPPI,KASI,dsb) yang ada di masyarakat bergabung membentuk Kesatuan Aksi berupa “Front Pancasila” yang selanjutnya lebih dikenal dengan “Angkatan 66” untuk menghacurkan tokoh yang terlibat dalam Gerakan 30 September 1965.
6. Kesatuan Aksi “Front Pancasila” pada 10 Januari 1966 di depan gedung DPR-GR mengajukan tuntutan”TRITURA”(Tri Tuntutan Rakyat)  yang berisi :
Pembubaran PKI berserta Organisasi Massanya
Pembersihan Kabinet Dwikora
Penurunan Harga-harga barang.
7. Upaya reshuffle kabinet Dwikora pada 21 Februari 1966 dan Pembentukan Kabinet Seratus Menteri tidak juga memuaskan rakyat sebab rakyat menganggap di kabinet tersebut duduk tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965.
8. Wibawa dan kekuasaan presiden Sukarno semakin menurun setelah upaya untuk mengadili tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965 tidak berhasil dilakukan meskipun telah dibentuk Mahkamah Militer Luar Biasa(Mahmilub).
9. Sidang Paripurna kabinet dalam rangka mencari solusi dari masalah yang sedang bergejolak tak juga berhasil. Maka Presiden mengeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret 1966 (SUPERSEMAR) yang ditujukan bagi Letjen Suharto guna mengambil langkah yang dianggap perlu untuk mengatasi keadaan negara yang semakin kacau dan sulit dikendalikan.
 
Upaya menuju pemerintahan Orde Baru :
Setelah dikelurkan Supersemar maka mulailah dilakukan penataan pada kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Penataan dilakukan di dalam lingkungan lembaga tertinggi negara dan pemerintahan.
Dikeluarkannya Supersemar berdampak semakin besarnya kepercayaan rakyat kepada pemerintah karena Suharto berhasil memulihkan keamanan dan membubarkan PKI.
Munculnya konflik dualisme kepemimpinan nasional di Indonesia. Hal ini disebabkan karena saat itu Soekarno masih berkuasa sebagai presiden sementara Soeharto menjadi pelaksana pemerintahan.
Konflik Dualisme inilah yang membawa Suharto mencapai puncak kekuasaannya karena akhirnya Sukarno mengundurkan diri  dan menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada Suharto.
Pada tanggal 23 Februari 1967, MPRS menyelenggarakan sidang istimewa untuk mengukuhkan pengunduran diri Presiden Sukarno dan mengangkat Suharto sebagai pejabat Presiden RI. Dengan Tap MPRS No. XXXIII/1967 MPRS mencabut kekuasaan pemerintahan negara dan menarik kembali mandat MPRS dari Presiden Sukarno .
12 Maret 1967 Jendral Suharto dilantik sebagai Pejabat Presiden Republik Indonesia. Peristiwa ini menandai berakhirnya kekuasaan Orde Lama dan dimulainya kekuasaan Orde Baru.
Pada Sidang Umum bulan Maret 1968 MPRS mengangkat Jendral Suharto sebagai Presiden Republik Indonesia.

II. KEHIDUPAN POLITIK MASA ORDE BARU
Upaya untuk melaksanakan Orde Baru :
Melakukan pembaharuan menuju perubahan seluruh tatanan kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara.
Menyusun kembali kekuatan bangsa menuju stabilitas nasional guna mempercepat proses pembangunan menuju masyarakat adil dan makmur.
Menetapkan Demokrasi Pancasila guna melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Melaksanakan Pemilu secara teratur serta penataan pada lembaga-lembaga negara.
Pelaksanaan Orde Baru :
Awalnya kehidupan demokrasi di Indonesia menunjukkan kemajuan.
Perkembangannya, kehidupan demokrasi di Indonesia  tidak berbeda dengan masa Demokrasi Terpimpin.
Untuk menjalankan Demokrasi Pancasila maka Indonesia memutuskan untuk menganut sistem pemerintahan berdasarkan Trias Politika(dimana terdapat tiga pemisahan kekuasaan di pemerintahan yaitu Eksekutif,Yudikatif, Legislatif) tetapi itupun tidak diperhatikan/diabaikan.
 
Langkah yang diambil pemerintah untuk penataan  kehidupan Politik :
A.  PENATAAN POLITIK DALAM NEGERI
1.   Pembentukan Kabinet Pembangunan
Kabinet awal pada masa peralihan kekuasaan (28 Juli 1966) adalah Kabinet AMPERA dengan tugas yang dikenal dengan nama Dwi Darma Kabinet Ampera yaitu untuk menciptakan stabilitas politik dan ekonomi sebagai persyaratan untuk melaksanakan pembangunan nasional. Program Kabinet AMPERA  yang disebut Catur Karya Kabinet AMPERA adalah sebagai berikut.
1. Memperbaiki kehidupan rakyat terutama di bidang sandang dan pangan.
2. Melaksanakan pemilihan Umum dalam batas waktu yakni 5 Juli 1968.
3. Melaksanakan politik luar negeri yang bebas aktif untuk kepentingan nasional.
4. Melanjutkan perjuangan anti imperialisme dan kolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya.
 
Selanjutnya setelah sidang MPRS tahun 1968 menetapkan Suharto sebagai presiden untuk masa jabatan 5 tahun maka dibentuklah kabinet yang baru dengan nama Kabinet Pembangunan dengan tugasnya yang disebut dengan Pancakrida, yang meliputi :
1. Penciptaan stabilitas politik dan ekonomi
2. Penyusunan dan pelaksanaan Rencana Pembangunan Lima Tahun Tahap pertama
3. Pelaksanaan Pemilihan Umum
4. Pengikisan habis sisa-sisa Gerakan 3o September
5. Pembersihan aparatur negara di pusat pemerintahan dan daerah dari pengaruh PKI.

 

2.   Pembubaran PKI dan Organisasi masanya
Suharto sebagai pengemban Supersemar guna menjamin keamanan, ketenangan, serta kestabilan jalannya pemerintahan maka melakukan :
1. Pembubaran PKI pada tanggal 12 Maret 1966 yang diperkuat dengan dikukuhkannya Ketetapan MPRS No. IX Tahun 1966..
2. Dikeluarkan pula keputusan yang menyatakan bahwa PKI sebagai organisasi terlarang di Indonesia.
3. Pada tanggal 8 Maret 1966 dilakukan pengamanan 15 orang menteri yang dianggap terlibat Gerakan 30 September 1965. Hal ini disebabkan muncul keraguan bahwa mereka tidak hendak membantu presiden untuk memulihkan keamanan dan ketertiban.
 
3.   Penyederhanaan dan Pengelompokan Partai Politik
Setelah pemilu 1971 maka dilakukan penyederhanakan jumlah partai tetapi bukan berarti menghapuskan partai tertentu sehingga dilakukan penggabungan (fusi) sejumlah partai. Sehingga pelaksanaannya kepartaian tidak lagi didasarkan pada ideologi tetapi atas persamaan program. Penggabungan tersebut menghasilkan tiga kekuatan sosial-politik, yaitu :
1. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) merupakan fusi dari NU, Parmusi, PSII, dan Partai Islam Perti yang dilakukan pada tanggal 5 Januari 1973 (kelompok partai politik Islam)
2. Partai Demokrasi Indonesia (PDI), merupakan fusi dari PNI, Partai Katolik, Partai Murba, IPKI, dan Parkindo (kelompok partai politik yang bersifat nasionalis).
3. Golongan Karya (Golkar)
 
4.   Pemilihan Umum
Selama masa Orde Baru telah berhasil melaksanakan pemilihan umum sebanyak enam kali yang diselenggarakan setiap lima tahun sekali, yaitu: tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.
1)     Pemilu 1971
Pejabat negara harus bersikap netral berbeda dengan pemilu 1955 dimana para pejabat negara termasuk perdana menteri yang berasal dari partai peserta pemilu dapat ikut menjadi calon partai secara formal.
Organisasai politik yang dapat ikut pemilu adalah parpol yang pada saat pemilu sudah ada dan diakui mempunyai wakil di DPR/DPRD.
Pemilu 1971 diikuti oleh 58.558.776pemilih untuk memilih 460 orang anggota DPR dimana 360 orang anggota dipilih dan 100 orang diangkat.
Diikuti oleh 10 organisasi peserta pemilu yaitu Partai Golongan Karya (236 kursi), Partai Nahdlatul Ulama (58 kursi), Partai Muslimin Indonesia (24 kusi), Partai Nasional Indonesia (20 kursi), Partai Kristen Indonesia (7 kursi), Partai Katolik (3 kursi), Partai Islam Perti (2 kursi), Partai Murba dan Partai IPKI (tak satu kursipun).                                   
2)  Pemilu 1977
Sebelum dilaksanakan Pemilu 1977 pemerintah bersama DPR mengeluarkan UU No.3 tahun 1975 yang mengatur mengenai penyederhanaan jumlah partai sehingga ditetapkan bahwa terdapat 2 partai politik (PPP dan PDI) serta Golkar. Hasil dari Pemilu 1977 yang diikuti oleh 3 kontestan menghasilkan 232 kursi untuk Golkar, 99 kursi untuk PPP dan 29 kursi untuk PDI.
3)  Pemilu 1982
Pelaksanaan Pemilu ketiga pada tanggal 4 Mei 1982. Hasilnya perolehan suara Golkar secara nasional meningkat. Golkar gagal memperoleh kemenangan di Aceh tetapi di Jakarta dan Kalimantan Selatan Golkar berhasil merebut kemenangan dari PPP. Golkar berhasil memperoleh tambahan 10 kursi sementara PPP dan PDI kehilangan 5 kursi.
4)  Pemilu 1987
Pemilu tahun 1987 dilaksanakan pada tanggal 23 April 1987. Hasil dari Pemilu 1987 adalah:
PPP memperoleh 61 kursi mengalami pengurangan 33 kursi dibanding dengan pemilu 1982 hal ini dikarenakan adanya larangan penggunaan asas Islam (pemerintah mewajibkan hanya ada satu asas tunggal yaitu Pancasila) dan diubahnya lambang partai dari kabah menjadi bintang.
Sementara Golkar memperoleh tambahan 53 kursi sehingga menjadi 299 kursi.
PDI memperoleh kenaikan 40 kursi karena PDI berhasil membentuk DPP PDI sebagai hasil kongres tahun 1986 oleh Menteri Dalam Negeri Soepardjo Rustam.
5)  Pemilu 1992
Pemilu tahun 1992 diselenggarakan pada tanggal 9 Juni 1992 menunjukkan perubahan yang cukup mengagetkan. Hasilnya perolehan Golkar menurun dari 299 kursi menjadi 282 kursi, sedangkan PPP memperoleh 62 kursi dan PDI meningkat menjadi 56 kursi.
6)  Pemilu 1997
Pemilu keenam dilaksanakan pada 29 Mei 1997. Hasilnya:
Golkar memperoleh suara mayoritas perolehan suara mencapai 74,51 % dengan perolehan kursi 325 kursi.
PPP mengalami peningkatan perolehan suara sebesar 5,43 % dengan perolehan kursi 27 kursi.
PDI mengalami kemerosotan perolehan suara karena hanya mendapat 11 kursi di DPR. Hal ini disebabkan karena adanya konflik internal dan terpecah antara PDI Soerjadi dan PDI Megawati Soekarno Putri.
 
Penyelenggaraan Pemilu yang teratur selama Orde Baru menimbulkan kesan bahwa demokrasi di Indonesia sudah tercipta. Apalagi pemilu itu berlangsung secara tertib dan dijiwai oleh asas LUBER(Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia). Kenyataannya pemilu diarahkan pada kemenangan peserta tertentu yaitu Golongan Karya (Golkar) yang selalu mencolok sejak pemilu 1971-1997. Kemenangan Golkar yang selalu mendominasi tersebut sangat menguntungkan pemerintah dimana terjadi perimbangan suara di MPR dan DPR. Perimbangan tersebut memungkinkan Suharto menjadi Presiden Republik Indonesia selama enam periode pemilihan. Selain itu, setiap Pertangungjawaban, Rancangan Undang-undang, dan usulan lainnya dari pemerintah selalu mendapat persetujuan dari MPR dan DPR tanpa catatan.
 
5.   Peran Ganda ABRI
Guna menciptakan stabilitas politik maka pemerintah menempatkan peran ganda bagi ABRI yaitu sebagai peran hankam dan sosial. Sehingga peran ABRI dikenal dengan Dwifungsi ABRI. Peran ini dilandasi dengan adanya pemikiran bahwa TNI adalah tentara pejuang dan pejuang tentara. Kedudukan TNI dan Polri dalam pemerintahan adalah sama di lembaga MPR/DPR dan DPRD mereka mendapat jatah kursi dengan pengangkatan. Pertimbangan pengangkatannya didasarkan pada fungsi stabilisator dan dinamisator.
 
6.   Pemasyarakatan P4
Pada tanggal 12 April 1976, Presiden Suharto mengemukakan gagasan mengenai pedoman untuk menghayati dan mengamalkan Pancasila yaitu gagasan Ekaprasetia Pancakarsa. Gagasan tersebut selanjutnya ditetapkan sebagai Ketetapan MPR dalam sidang umum tahun 1978 mengenai “Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila” atau biasa dikenal sebagai P4.
Guna mendukung program Orde baru yaitu Pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen maka sejak tahun 1978 diselenggarakan penataran P4 secara menyeluruh pada semua lapisan masyarakat.
Tujuan dari penataran P4 adalah membentuk pemahaman yang sama mengenai demokrasi Pancasila sehingga dengan pemahaman yang sama diharapkan persatuan dan kesatuan nasional akan terbentuk dan terpelihara. Melalui penegasan tersebut maka opini rakyat akan mengarah pada dukungan yang kuat terhadap pemerintah Orde Baru.
Pelaksanaan Penataran P4 tersebut menunjukkan bahwa Pancasila telah dimanfaatkan oleh pemerintahan Orde Baru. Hal ini tampak dengan adanya himbauan pemerintah pada tahun 1985 kepada semua organisasi untuk menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal. Penataran P4 merupakan suatu bentuk indoktrinasi ideologi sehingga Pancasila menjadi bagian dari sistem kepribadian, sistem budaya, dan sistem sosial masyarakat Indonesia.
 
7.   Mengadakan Penentuan Pendapat Rakyat (Perpera) di Irian Barat dengan disaksikan oleh wakil PBB pada tanggal 2 Agustus 1969.
 
B. PENATAAN POLITIK LUAR NEGERI
Pada masa Orde Baru, politik luar negeri Indonesia diupayakan kembali kepada jalurnya yaitu politik luar negeri yang bebas aktif. Untuk itu maka MPR mengeluarkan sejumlah ketetapan yang menjadi landasan politik luar negeri Indonesia. Dimana politik luar negeri Indonesia harus berdasarkan kepentingan nasional, seperti permbangunan nasional, kemakmuran rakyat, kebenaran, serta keadilan.
1)   Kembali menjadi anggota PBB
Indonesia kembali menjadi anggota PBB dikarenakan adanya desakan dari komisi bidang pertahanan keamanan dan luar negeri DPR GR terhadap pemerintah Indonesia. Pada tanggal 3 Juni 1966 akhirnya disepakati bahwa Indonesia harus kembali menjadi anggota PBB dan badan-badan internasional lainnya dalam rangka menjawab kepentingan nasional yang semakin mendesak. Keputusan untuk kembali ini dikarenakan Indonesia sadar bahwa ada banyak manfaat yang diperoleh Indonesia selama menjadi anggota PBB pada tahun 1950-1964. Indonesia secara resmi akhirnya kembali menjadi anggota PBB sejak tanggal 28 Desember 1966.
 
2)  Normalisasi hubungan dengan beberapa negara
(1) Pemulihan hubungan dengan Singapura
Sebelum pemulihan hubungan dengan Malaysia Indonesia telah memulihkan hubungan dengan Singapura dengan perantaraan Habibur Rachman (Dubes Pakistan untuk Myanmar). Pemerintah Indonesia menyampikan nota pengakuan terhadap Republik Singapura pada tanggal 2 Juni 1966 yang disampikan pada Perdana Menteri Lee Kuan Yew. Akhirnya pemerintah Singapurapun menyampikan nota jawaban kesediaan untuk mengadakan hubungan diplomatik.
(2) Pemulihan hubungan dengan Malaysia
Normalisasi hubungan Indonesia dan Malaysia dimulai dengan diadakan perundingan di Bangkok pada 29 Mei-1 Juni 1966 yang menghasilkan perjanjian Bangkok. Peresmian persetujuan pemulihan hubungan Indonesia-Malaysia oleh Adam Malik dan Tun Abdul Razak dilakukan di Jakarta tanggal 11 agustus 1966 dan ditandatangani persetujuan Jakarta (Jakarta Accord). Hal ini dilanjutkan dengan penempatan perwakilan pemerintahan di masing-masing negara..
 
3)  Pendirian ASEAN(Association of South-East Asian Nations)
Indonesia menjadi pemrakarsa didirikannya organisasi ASEAN pada tanggal 8 Agustus 1967. Latar belakang didirikan Organisasi ASEAN adalah adanya kebutuhan untuk menjalin hubungan kerja sama dengan negara-negara secara regional dengan negara-negara yang ada di kawasan Asia Tenggara. Tujuan awal didirikan ASEAN adalah untuk membendung perluasan paham komunisme setelah negara komunis Vietnam menyerang Kamboja.
 
4)  Integrasi Timor-Timur ke Wilayah Indonesia
Timor- Timur merupakan wilayah koloni Portugis sejak abad ke-16 tapi kurang diperhatikan oleh pemerintah pusat di Portugis sebab jarak yang cukup jauh. Tahun 1975 terjadi kekacauan politik di Timor-Timur antar partai politik yang tak terselesaikan sementara itu pemerintah Portugis memilih untuk meninggalkan Timor-Timur. Kekacauan tersebut membuat sebagian masyarakat Timor-Timur yang diwakili para pemimpin partai politik memilih untuk menjadi bagian Republik Indonesia yang disambut baik oleh pemerintah Indonesia. Secara resmi akhirnya Timor-Timur menjadi bagian Indonesia pada bulan Juli 1976 dan dijadikan provinsi ke-27. Tetapi ada juga partai politik yang tidak setuju menjadi bagian Indonesia ialah partai Fretilin. Hingga akhirnya tahun 1999 masa pemerintahan Presiden Habibie melakukan jajak pendapat untuk menentukan status Timor-Timur. Berdasarkan jajak pendapat tersebut maka Timor-Timur secara resmi keluar dari Negara Kesatuan republik Indonesia dan membentuk negara tersendiri dengan nama Republik Demokrasi Timor Lorosae atau Timur Leste.
 
 
III.    KEHIDUPAN EKONOMI MASA ORDE BARU
Pada masa Demokrasi Terpimpin, negara bersama aparat ekonominya mendominasi seluruh kegiatan ekonomi sehingga mematikan potensi dan kreasi unit-unit ekonomi swasta. Sehingga, pada permulaan Orde Baru program pemerintah berorientasi pada usaha penyelamatan ekonomi nasional terutama pada usaha mengendalikan tingkat inflasi, penyelamatan keuangan negara dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat. Tindakan pemerintah ini dilakukan karena adanya kenaikan harga pada awal tahun 1966 yang menunjukkan tingkat inflasi kurang lebih 650 % setahun. Hal itu menjadi penyebab kurang lancarnya program pembangunan yang telah direncanakan pemerintah. Oleh karena itu pemerintah menempuh cara sebagai berikut.
1.   Stabilisasi dan Rehabilitasi Ekonomi
Keadaan ekonomi yang kacau sebagai peninggalan masa Demokrasi Terpimpin,pemerintah menempuh cara :
Mengeluarkan Ketetapan MPRS No.XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaruan Kebijakan ekonomi, keuangan dan pembangunan.
MPRS mengeluarkan garis program pembangunan, yakni program penyelamatan, program stabilitas dan rehabilitasi, serta program pembangunan.
Program pemerintah diarahkan pada upaya penyelamatan ekonomi nasional terutama stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi. Stabilisasi berarti mengendalikan inflasi agar harga barang-barang tidak melonjak terus. Sedangkan rehabilitasi adalah perbaikan secara fisik sarana dan prasarana ekonomi. Hakikat dari kebijakan ini adalah pembinaan sistem ekonomi berencana yang menjamin berlangsungnya demokrasi ekonomi ke arah terwujudnya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Langkah-langkah yang diambil Kabinet AMPERA mengacu pada Tap MPRS tersebut adalah sebagai berikut.
1)   Mendobrak kemacetan ekonomi dan memperbaiki sektor-sektor yang menyebabkan kemacetan, seperti :
rendahnya penerimaan negara
tinggi dan tidak efisiennya pengeluaran negara
terlalu banyak dan tidak produktifnya ekspansi kredit bank
terlalu banyak tunggakan hutang luar negeri
penggunaan devisa bagi impor yang sering kurang berorientasi pada kebutuhan prasarana.
2)     Debirokratisasi untuk memperlancar kegiatan perekonomian.
3)     Berorientasi pada kepentingan produsen kecil.
 
Program Stabilisasi dilakukan dengan cara membendung laju inflasi.
Hasilnya bertolak belakang dengan perbaikan inflasi sebab harga bahan kebutuhan pokok melonjak namun inflasi berhasil dibendung (pada tahun akhir 1967- awal 1968)

1. Pelita I(1 April 1969 – 31 Maret 1974)
Sasaran yang hendak di capai pada masa ini adalah pangan, sandang, perbaikan prasarana, perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani. Pelita I lebih menitikberatkan pada sektor pertanian.
Keberhasilan dalam Pelita I yaitu:
a. Produksi beras mengalami kenaikan rata-rata 4% setahun.
b. Banyak berdiri industri pupuk, semen, dan tekstil.
c. Perbaikan jalan raya.
d. Banyak dibangun pusat-pusat tenaga listrik.
e. Semakin majunya sektor pendidikan.

2. Pelita II(1 April 1974 – 31 Maret 1979)
Sasaran yang hendak di capai pada masa ini adalah pangan, sandang, perumahan, sarana dan prasarana, mensejahterakan rakyat, dan memperluas lapangan kerja . Pelita II berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi rata-rata penduduk 7% setahun. Perbaikan dalam hal irigasi. Di bidang industri juga terjadi kenaikna produksi. Lalu banyak jalan dan jembatan yang di rehabilitasi dan di bangun.

3.Pelita III(1 April 1979 – 31 Maret 1984)
Pelita III lebih menekankan pada Trilogi Pembangunan. Asas-asas pemerataan di tuangkan dalam berbagai langkah kegiatan pemerataan, seperti pemerataan pembagian kerja, kesempatasn kerja, memperoleh keadilan, pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, dan perumahan,dll

4. Pelita IV(1 April 1984 – 31 Maret 1989)
Pada Pelita IV lebih dititik beratkan pada sektor pertanian menuju swasembada pangan dan meningkatkan ondustri yang dapat menghasilkan mesin industri itu sendiri. Hasil yang dicapai pada Pelita IV antara lain.

a. Swasembada Pangan.
Pada tahun 1984 Indonesia berhasil memproduksi beras sebanyak 25,8 ton. Hasil-nya Indonesia berhasil swasembada beras. kesuksesan ini mendapatkan penghargaan dari FAO(Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia) pada tahun 1985. hal ini merupakan prestasi besar bagi Indonesia.
Selain swasembada pangan, pada Pelita IV juga dilakukan Program KB dan Rumah untuk keluarga.


5. Pelita V(1 April 1989 – 31 Maret 1994)
Pada Pelita V ini, lebih menitik beratkan pada sektor pertanian dan industri untuk memantapakan swasembada pangan dan meningkatkan produksi pertanian lainnya serta menghasilkan barang ekspor.
Pelita V adalah akhir dari pola pembangunan jangka panjang tahap pertama. Lalu dilanjutkan pembangunan jangka panjang ke dua, yaitu dengan mengadakan Pelita VI yang di harapkan akan mulai memasuki proses tinggal landas Indonesia untuk memacu pembangunan dengan kekuatan sendiri demi menuju terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.

6. Pelita VI (1 April 1994 - 31 Maret 1999)
Pada masa ini pemerintah lebih menitikberatkan pada sektor bidang ekonomi. Pembangunan ekonomi ini berkaitan dengan industri dan pertanian serta pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pendukungnya.

III. Kekurangan dan kelebihan sistim pemerintahan orde baru
Kelebihan sistem Pemerintahan Orde Baru
perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS $ 70 dan pada 1996 telah mencapai lebih dari AS$1.000
sukses Transmigrasi, yang disertai segala dampak negatifnya
sukses KB
sukses memerangi buta huruf
Kekurangan Sistem Pemerintahan Orde Baru
semaraknya korupsi, kolusi dan nepotisme
pembangunan Indonesia yang tidak merata
bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya dan si miskin)
kritik dibungkam dan oposisi diharamkan
kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang dibreidel
IV. Jatuhnya rezim orde baru
Pada pertengahan 1997, Indonesia diserang krisis keuangan dan ekonomi Asia, disertai kemarau terburuk dalam 50 tahun terakhir dan harga minyak, gas dan komoditas ekspor lainnya yang semakin jatuh. Rupiah jatuh, inflasi meningkat tajam, dan perpindahan modal dipercepat. Para demonstran, yang awalnya dipimpin para mahasiswa, meminta pengunduran diri Soeharto. Di tengah gejolak kemarahan massa yang meluas, Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, tiga bulan setelah MPR melantiknya untuk masa bakti ketujuh. Soeharto kemudian memilih sang Wakil Presiden, B.J Habibie untuk menjadi presiden ketiga Indonesia.

Bajak Laut di Sunda Kecil Pada Abad ke XVII-XIX

BAJAK LAUT DI PERAIRAN SUNDA KECIL PADA ABAD KE XVII - XIX
PAPER
1Husnul Yakin
Abstrack
Bajak Laut adalah salah satu bagian yang cukup penting dalam sejarah maritim di nusantara. Jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa di nusantara mereka telah eksis di perairan nusantara. Salah satunya adalah di perairan sunda kecil. Bajak laut disini banyak yang berasal dari orang-orang Bugis. Mereka sudah lama berperan dalam eksistensi pelayaran di daerah Sunda Kecil terutama pada abad XVII sampai abad XIX.
Kata Kunci : Bajak Laut, Sunda Kecil
Pendahuluan
Perompakan merupakan sebuah fenomena yang menarik sejak abad XIX di kawasan Asia Tenggara. Hal itu terbukti dari ditemukannya catatan mengenai bajak laut di berbagai sumber seperti dalam laporan perjalanan lintas laut, laporan kegiatan AL kolonial, buku panduan navigasi pada masa itu, nota dinas yang menyangkut keamanan pantai, buku cerita tentang pelayaran, dan jenis-jenis kepustakaan lain yang berkaitan dengan pelayaran pada abad XIX. Sumber-sumber tersebut selalu menyinggung adanya kegiatan bajak laut (zeeroof) di kawasan itu.
Bahkan arsip kolonial Belanda selalu menyediakan judul “bajak laut” meskipun adakalanya dalam tahun tertentu tidak ada berita mengenai bajak laut. Hal itu membuktikan bahwa masalah bajak laut pada masa itu sudah menjadi masalah rutin sehingga dirasa perlu menyediakan satu rubrik tersendiri setiap tahun dalam agenda administrasi kolonial. ( Lapian, 2009 )
Dalam paper ini akan lebih banyak membahas tentang sepak terjang Bajak Laut yang beroperasi di perairan Sunda Kecil yang lebih banyak dilakukan oleh Orang Bugis karena pada waktu itu mereka mempunyai peran yang cukup besar dalam menentukan kondisi pelayaran di kawasan Sunda Kecil ini.

Definisi Bajak Laut
Pada umumnya Bajak Laut didefinisikan sebagai orang yang melakukan tindakan kekerasabn di laut. Untuk membedakannya dari petugas negara yang juga menggunakan kekerasan dilaut dan bertindak atas nama negara, maka dibuat pembatasan bahwa yang diartikan sebagai Bajak Laut adalah orang yang melakukan kekerasan di laut tanpa mendapat wewenang dari pemerintah untuk melakukan tindakan itu. Dengan kata lain, perbuatan itu dilakukan untuk kepentingan pribadi atau kepentingan suatu kelompok tertentu. Dalam hal ini, ia melanggar hukum negara dan dianggap sebagai seorang kriminal.
Dalam hukum internasional, definisi ini dirumuskan lebih lanjut lagi dengan menegaskan bahwa apa yang disebut tindakan Bajak Laut adalah sutu tindakan kekerasan tanpa diberi wewenang suatu pemerintah tertentu diperairan bebas, yakni di laut yang terletak diluar yurisdiksi suatu negara tertentu. Karena tindakan demikian dianggap sebagai suatu pelanggaran atau kejahatan terhadap seluruh umat manusia, maka pelaku dapat diadili oleh tiap negara walaupun pelanggaran ini terjadi di perairan bebas.
Dalam bahasa Indonesia selain kata ‘perompak’ atau ‘perompak laut’ dan ‘bajak laut’, dikenal pula kata ‘lanun’ ( sering kali disebut pula ‘perompak lanun’ ). Kata ini berasal dari nama Ilanun atau Iranun, yaitu nama salah satu suku bangsa di Filipina Selatan. Dalam kamus bahasa-bahasa daerah di bagian timur Nusantara ditemukan pula bahwa untuk pengertian bajak laut dipakai nama-nama suku bangsa di Filipina Selatan juga, yakni ‘ Lanong’. Disamping itu, ada nama ‘Tobelo’, ‘Belo’, atau ‘pabelo’ yang merupakan suku bangsa yang berasal dari Halmahera.
  1. Bajak laut
    Bajak laut (pirate) adalah para perampok di laut yang bertindak di luar segala hukum. Kata pirate berasal dari bahasa Yunani yang berarti 'yang menyerang', 'yang merampok'. Dalam Bahasa Indonesia dan Melayu sebutan lain untuk bajak laut, lanun, berasal dari nama lain salah satu suku maritim di Indonesia dan Malaysia, Orang Laut.
    Tujuan mereka tidak bersifat politik, mereka mencari keuntungan sendiri dan tidak melayani siapapun kecuali di bawah bendera Jolly Roger (bendera bajak laut). Banyak dari corsario (corsair) berubah profesi menjadi bajak laut selama periode perdamaian antara Spanyol dan Inggris.
    Target utama penyerangan para bajak laut adalah sebagian besar kapal-kapal (dan juga daerah-daerah kolonial) yang berada di bawah kekuasaan Spanyol atau Portugis. Ini adalah suatu hal yang logis karena kedua kerajaan tersebut itulah yang memonopoli perdagangan antara Eropa dan Dunia Baru.
    Kapal-kapal yang mengangkut emas dan perak dari Amerika merupakan sasaran empuk para bajak laut.
  2. Corsario
    Kapal corsario (corsair) adalah kapal yang berlaut atas perintah dari seorang raja dan melakukan aksi-aksi perang melawan kepentingan kerajaan musuh (biasanya mencoba untuk melemahkan kekuasaan komersial dan kolonial).Para corsair ini dalam kekuasannya memiliki dokumen-dokumen yang memberikan kuasa kepada kapal yang dikendalikannya untuk berbuat aksi-aksi perang tersebut.
    Dokumen-dokumen tersebut dinamakan Letter of marque atau Patente de Corso. Batasan-batasan yang digariskan pada dokumen tersebut sangat kabur (tidak jelas) dan biasanya kapten-kapten corsario dan tripulasinya itulah yang memutuskan apa yang bisa mereka perbuat dan apa yang dilarang.Kekuasaan corsario dianugerahkan oleh seorang raja, walaupun dalam prakteknya biasanya, raja mendelegasikan pada seorang gubernur.
    Pada periode peperangan, delegasi corsario sering dipakai dalam ekspedisi-ekspedisi untuk melawan kepentingan musuh yang berpotensi.Ketika ini terjadi, kapten-kapten tersebut dan tripulasinya diwajibkan untuk menyerahkan semua rampasan hartanya kepada kerajaan terkecuali sebagian kecil (yang mungkin bisa seperlima atau lebih).
    Ketika kapal-kapal corsair tidak menjadi bagian dari suatu misi kerajan, mereka biasanya menyerang kapal apa saja selama ini tidak berbendera sama dengan kerajaan dari mana mereka berasal.Mereka beraksi seperti layaknya bajak laut namun masih menyimpan hak-hak berlaut yang bersifat corso (dilindungi oleh satu kerajaan). Harta rampasan yang diperoleh dengan cara ini adalah untuk mereka, walaupun diwajibkan untuk menyerahkan satu bagian untuk pemerintah koloni dari mana mereka berasal.Kapal-kapal corsair bisa dianggap sebagai pelabuhan aman bagi mereka yang berasal dari negara/kerajaan yang sama, dan lagi mereka mendapatkan perlindungan.
    Para corsair tak dapat dihukum gantung karena alasan pembajakan karena mereka mempunyai "izin" (kuasa hukum corso) yang dikeluarkan oleh kerajaan. Kenyataannya jelas seorang corsair yang dikejar oleh musuh, tidak dapat mempercayai hal ini, karena ada kebiasaan menghukum gantung corsair musuh.
  3. Bucanero
    Definisi ini mulai dikenal pada sebagian koloni Perancis yang telah berdiri pada bagian barat koloni Spanyol (sekarang Haití). Mereka mendapatkan nama bucaneros (buccaneers), berasal dari kata Indian, bucan, yang merujuk pada tempat di mana daging diasapkan, dengan cara membakar kayu hijau di bawah beberapa tongkat dengan bentuk panggangan, yang mendapat nama barbeque.Di bagian pulau yang tidak terhuni (bagian timur dihuni oleh orang Spanyol) terjadi reproduksi secara luar biasa hewan banteng dan sapi dan para bucanero bekerja menangkap mereka untuk nantinya dijual kulit dan daging asapnya kepada kapal-kapal yang menghargai rasa dan ketahanan dari daging asap ini.
    Para bucanero hidup dalam alam bebas, tidak ada seorangpun yang memerintah atau menguasai mereka. Ini mengundang segala jenis orang yang diusir, buronan, budak, Indian pemberontak, dan orang-orang yang dikejar oleh agama.
    Jumlah bucanero ini bertambah dan pada tahun 1620 mereka mulai dikejar oleh orang-orang Spanyol. Mereka memutuskan untuk berbuat perampokan kecil di laut dan mendirikan pangkalan operasi di pulau Tortuga, dekat dengan koloni Spanyol.
    Pengakuan akan keberadaan mereka oleh Le Vasseur sebagai pemerintah pulau itu dan berangkat dari kepentingan riilnya, membawa mereka untuk berasosiasi dalam "Hermandad de la Costa" atau “persaudaraan daratan pantai” yang akan memunculkan asal dari filibusteros.

  4. Filibustero
    Karena di pulau Tortuga tidak terdapat buruan, para bucanero berhadapan dengan sebuah dilema untuk terus hidup: pergi dengan Canoa untuk berburu di teritori Spanyol atau mendedikasikan diri pada pembajakan.
    Mereka yang memilih pilihan terakhir dinamakan filibusteros (freebooter). Kata Filibustero berasal dari bahasa Belanda Vrij Buiter (”yang merampas harta” atau dalam bahasa Inggris, freebooter).Setelah mendapat pelajaran keras yang mereka dapatkan setelah diusir dari koloni Spanyol, para freebooter ini mengerti bahwa adalah perlu untuk bersatu jika mereka ingin melawan akan adanya kemungkinan risiko.
    Kebiasaan hidup dengan kemerdekaan yang penuh, membuat mereka tidak mengizinkan untuk diperintah oleh hukum, norma dan orang-orang di atas mereka. Maka lahirlah perkumpulan persaudaraan itu. Para filibusteros ini menyerang kapal apa saja, dari kerajaan manapun, walaupun kapal-kapal spanyolah yang sering menjadi korban mereka.
    Mereka seringkali menggunakan kapal kecil, sangat ringan dan mudah dikendalikan dan seringkali mereka dimodali dan didukung secara ekstra oficial oleh potensi-potensi dari Eropa dengan kepentingan untuk melemahkan perdagangan musuh.Mereka seringkali menggagalkan perdangan antarkoloni dan didongengkan akan aktuasi-aktuasi mereka yang berani dengan senjata yang minim dan tripulasi yang sedikit, mereka menyerang galeon-galeon kapal besar yang dipersenjatai secara luar biasa, yang mengangkut emas.
5. Engagé
Engagé adalah kata Perancis yang artinya 'yang terlibat', 'yang berkomitmen', atau 'yang siap bekerja'.Seorang engagé artinya adalah seseorang bebas yang menandatangani kontrak selama 3 tahun di mana dia diwajibkan bekerja sebagai pembantu untuk orang ketiga, dengan kondisi yang sama halnya dengan perbudakan.
Ini biasanya terjadi selama 2 tahun pertama kontrak, kondisi kerjanya bagus, namun seringkali mereka diharuskan bekerja dalam kondisi yang keras selama etapa terakhir dari kontraknya yang mewajibkan mereka ditarik kembali/dikontrak lagi sebagai syarat perbaikan kondisi kerja mereka.
( Wikipedia.com )
Bajak Laut dari dulu merupakan momok yang menakutkan di lautan. Hal ini disebabkan karena mereka tidak segan-segan merampas dan membunuh mangsanya di lautan. Terutama yang sering menjadi korban adalah para pedagang yang sedang berlayar.
Asia Tenggara merupakan salah satu daerah perompakan dari berbagai macam Bajak Laut. Perompakan sudah lama berlangsung di perairan Asia Tenggara. Selama abad ke-19 Selat Malaka telah lama menjadi jalur laut penting bagi kapal-kapal yang berlayar dari India dan dari Atas Angin ke Tiongkok. Nusantara dipenuhi oleh ribuan pulau, selat-selat sempit, dan muara sungai, yang semuanya menjadi tempat persembunyian sempurna untuk perompak. Fakta geografi ini, beserta dengan faktor-faktor lain, memudahkan perompakan: geografi Kepulauan Nusantara membuat patroli laut menjadi tugas yang sangat sulit.
Perompak tradisional di Asia Tenggara adalah Orang Laut, atau disebut juga Lanun. Mereka bermukim di perkampungan pesisir negara Malaysia, Indonesia, dan Filipina modern.
Bajak laut Tionghoa juga ditemukan dalam jumlah berarti, biasanya orang-orang terbuang dari masyarakat Tiongkok masa dinasti Ching. Mereka menemukan relung dengan memangsa kapal-kapal yang berdagang di Laut China Selatan dengan menggunakan Kapal Jung.
Perompakan juga dapat dilihat sebagai bentuk peperangan yang dilakukan penduduk asli untuk melawan pengaruh Eropa, yang merusak tatanan tradisional masyarakat pedagang di Asia Tenggara.
Peta Bajak Laut Nusantara
Sumber : Lapian, 2009 : 116
Bajak Laut di Perairan Sunda Kecil
Kedatangan Orang Bugis ke Sunda kecil mudah diterima oleh raja-raja karena orang Bugis ini mempunyai reputasi di laut dan juga reputasi dalam bidang militer. Reputasi dilaut karena kepandaiannya menguasai laut dan pelayaran dapat dimanfaatkan oleh raja pantai. Bugis merupakan salah satu suku bangsa pelaut yang sudah lama mengembangkan kebudayaan maritim. Mereka juga mempunyai kemampuan karena memiliki kapal dagang sendiri yang lebih memungkinkan mereka dapat menguasai perekonomian kerajaan. Baik sebagai pedagang, perantara, eksportir, importir maupun sebagai pedagang rentenir.
Orang Bugis sudah menetap di Bali atau paling sedikit telah menyinggahinya sekitar Abad ke XVII, yang dalam sumber daerah disebut Wong Nusantara, yang artinya orang asing. Yang dimaksud orang Asing disini adalah Orang Bugis, China dan Arab.
Daerah sunda kecil merupakan daerah yang cukup strategis bagi daerah operasi bajak laut Bugis. Terutama di Bali. Pada masa pemerintahan Dalem Segening dari Gelgel, Bali mengalami masa kejayaan yaitu dengan menguasai seluruh Bali dan Lombok. Pada masa ini ada indikasi sepak terjang dari pelaut Bugis yang melakukan huru hara di Desa Tulamben. Bajak laut itu adalah para pelarian dari Makasar.
Sumbawa dan Lombok juga dijadikan pangkalan oleh tiga orang bangsawan Bugis yakni Daeng Tellolo, Kraeng Jerenika dan Pemelikan dan terus-menerus memerangi VOC dan kerajaan di bagian Timur setelah jatuhnya Makassar 1667. Pada tahun 1678, orang Bugis di Sumbawa telah mempunyai kedudukan kuat. Mereka membantu raja Sumbawa dalam perang melawan kerajaan Karangasem-Lombok.
Penaklukan Blambangan oleh Panji Sakti 1679 juga memakai bantuan orang Bugis yang bermarkas di Teluk Pampang-Blambangan. Sisa laskar Bugis ini dibawa ke Buleleng dan menetap di sana. Masyarakat setempat sering menyebut mereka orang Jawa, yang sesungguhnya orang Bugis.
F. Valentin menulis bahwa pelaut Makasar bernama Karaeng Samarluka atau Karaeng Tunilabu Ri Suriwa pada tahun 1420 telah berdagang sampai ke Malaka, dengan kira-kira 200 perahu terutama memuat beras dibawa ke Malaka. Untuk pengamanan dari perampokan di laut, perahu-perahu mereka dipersenjatai dengan meriam.
Setelah jatuhnya Makassar, banyak bangsawan Bugis yang meninggaIkan daerah kelahirannya sambi! melanjutkan perjuangan melawan Belanda. Dapat disebutkan di sini seperti La'Madukeleng keturunan Sultan Wajo yang berpetualang sampai Malaka; Kraeng Galesung yang melarikan diri ke Jawa dan kemudian bergabung dengan pasukan Trunajaya. Mereka dikejar-kejar oleh armada Belanda. Bahkan Belanda mengumumkan barang siapa yang menangkap perahu-perahu bersenjata ini yang dianggap sebagai pembajak (istilah Belanda), akan diberi hadiah.
Di antara pelarian-pelarian ini ada yang bersembunyi di Blambangan yang aman dari incaran Belanda. Orang Bugis ini mem­bantu Blambangan yang pada waktu itu di bawah kekuasaan Mengwi dalam menghadapi tentara VOC. Dalam perang ini, pasukan Mengwi­-Bugis mengalami kekalahan dan pelabuhan dagang teluk Pampang dihancurkan VOC tahun 1676, sehingga menyebabkan orang Bugis menyebar ke Bali.
Sampai abad XVIII pantai Blambangan masih dipakai sebagai tempat persembunyian "bajak laut" Bugis. Tahun 1758 sebuah perahu Inggris dibajak dekat Lumajang. Sebelumnya tahun 1666, sebuah perahu Kompeni yang sedang berlabuh dekat Bandar Surabaya dirampas oleh orang Bugis di bawah Intjehehogah. Sampai tahun 1685 Ujung Timur Jawa Timur (Oosthoek) terdapat pembajak orang Bugis-Makassar yang disegani yang banyak merampok, membunuh dan menganggu pelayaran
Van der Tuuk meneatat bahwa orang Bugis juga mendarat di pantai Lingga di muara sungai Banyumala-Buleleng. Setelah beberapa lama, Aji Mampa dengan pengikutnya terpaksa meninggalkan pantai Lingga karena mereka tetap dianggap sebagai bajak laut oleh penduduk setempatll. Orang Bugis ini terus menyusur ke Timur dan menetap di sebuah kampung, yang sampai sekarang dinamai Kampung Bugis.
Di kerajaan Badung, pedagang Bugis telah lama bermukim di pulau Serangan. Salah satu pelabuhan yang penting di kerajaan Badung. Kepala kelompok pedagang ini diberi gelar oleh raja Badung puak Gede atau Puak Matuwa. Istilah Matoa atau Matuwa sekitar abad XVII-XVIII juga dikenal di tempat-tempat lain. Sejak abad XVII di Makassar, Passer (Kutai), Sumbawa telah dilantik Matoa untuk mewakili kepentingan dagang seluruh orang Bugis-Wajo di sekitarnya
Dibandingkan dengan penduduk asli, jumlah orang Bugis pada abad XIX sebenarnya sangat keeil. Di Jembrana bermukim 150 kepala keluarga orang Bugis, hal ini telah dihaneurkannya 1.200 orang Bugis bersenjata oleh Buleleng pada tahun 1808. Kalau dibandingkan dengan penduduk Bali yang berjumlah 6.241 kepala keluarga, jumlah orang Bugis ini tidak berarti, namun mereka eukup menentukan dalam kehidupan kerajaan.
Di pelabuhan Pabean bermukim 4.000 orang pedagang yang sebagian besar orang Bugis. Di pelabuhan Sangsit bermukim 1.200 orang pedagang, juga sebagian besar terdiri dari orang Bugis. Di pelabuhan Petemon, Celukanbawang tidak diketahui jumlahnya dengan pasti. Setelah terjadi bencana alam gempa bumi dan air bah tahun 1815 penduduk di pantai utara ini semuanya habis karena air laut naik. Tetapi perkampungan orang Bugis dibangun lagi, dan tahun 1823 di Pabean sudah mencapai 2.000 orang. Di Kuta, sebuah kota dagang yang ramai di Bali Selatan bermukim 150 kepala keluarga Bugis, yang sering disebut orang Bali Islam. Hal ini karena sulit membedakan orang Bugis dengan orang Bali, kecuali perbedaan agama yang dianutnya. Di desa-desa pantai Bali Selatan, juga banyak bermukim orang Bugis dan beberapa pemeluk agama Islam lainnya yang tidak dapat diketahui jumlahnya dengan pasti.
Sebelum masuknya Belanda ke Bali ekspor utama dari Bali adalah budak belian. Perdagangan budak memang memberikan keuntungan yang besar terutama bagi para raja dan bangsawan. Jika panen padi mengalami kegagalan, maka volume perdagangan budak akan meningkat. Memang benar pendapat Nielsen dalam tulisannya tentang Bali, bahwa dalam abad XVII-XIX seluruhnya berkisar pada masalah perbudakan Dalam perdagangan budak ini yang beraktivitas terutama pedagang Bugis.
Perahu-perahu Bugis juga mengangkut beras dari Lombok terutama ke Bali Utara. Bali Utara daerahnya banyak pegunungan, sehingga hasil pertaniannya sangat kurang. Kalau panen gagal penduduk sangat tergantung pada impor beras dari Jawa dan Lombok.
Perdagangan budak mulai berangsur-angsur berkurang setelah tahun 1830, tetapi di sana-sini pedagang Bugis masih melakukannya. Meskipun perdagangan budak secara resmi telah dilarang, tetapi di Bali sukar dihapuskan, sampai tahun 1856 pedagang Bugis secara sembunyi­sembunyi masih memperdagangkan budak, terutama dari kerajaan Badung. Tiap-tiap perahu Bugis biasanya membawa dua budak wanita dan dua budak laki-Iaki yang biasanya diperdagangkan sampai Singapura. Pemerintah mengalami kesulitan untuk mem-berantasnya,
Menurut laporan Mackenzie Residen Banyuwangi pada masa pemerintahan Raffles, pelayaran di Selatan Bali tidak pernah aman dari gangguan bajak laut. la menganjurkan pemerintah untuk membangun pos pengawasan dengan pasukan yang kuat untuk menghadapi orang Bugis ini. Selat Bali tetap menjadi pusat penyelundupan candu ke Jawa dan menjadi tempat persembunyian para bajak laut Bugis. Pangeran Said Hassan Al Habachi yang menjadi utusan Belanda ke Bali dan Lombok melaporkan terdapat kurang lebih 90 buah perahu bajak laut yang bermarkas di sebelah Timur pesisir Jawa Timur43. Menurutnya Bali akan tetap menjadi tempat persembunyian para bajak laut, dan pemerintah harus cepat turun tangan membersihkan kawasan ini. ( Suwitha, 2001 : 129 )
Pemerintah kemudian mengirim kapal de Komeet untuk meng­hadapinya. Namun, mengalami kesulitan menangkap, perahunya gesit dan lincah. Tahun 1827 kapal Iris di bawah Leman Brodie ditugaskan melakukan pengejaran dan pembersihan. Usaha ini berhasil. Pada tahun 1828, mereka meninggalkan Selat Bali. Sebagian dari mereka menuju pulau Kangean dan Pulau Laut, tetapi perairan Bali tetap tidak aman akibat ulah mereka. Di pulau Kangean ratusan pedagang Bugis ber­mukim di rumah penduduk yang dibangun di atas tiang, yang berha­dapan dengan rumah orang Jawa dan Madura. Bajak laut Bugis sangat berani dan pandai mencari mangsa dengan beroperasi di lautan lepas. Mereka gesit dalam menjalankan tugas di laut, tahu cara menahan kapal dengan jarak tertentu dari pantai, terutama terhadap orang-orang asing. ( Suwitha, 2001 : 130 )
Aktivitas orang Bugis di Lombok pada abad XVIII sudah menonjol. Pelabuhan-pelabuhan di Lombok Timur seperti: Bati, Saboaji (Labuh Haji) dan Piju (Pku) terdapat banyak orang Bugis. Di Ampenan, Lombok Barat, pelabuhan ini pada abad XVIII masih kecil dan baru muncul pada awal abad XIX, merupakan desa yang banyak dihuni oleh orang Bugis dan orang Bugis hampir datang pada setiap pelabuhan di Lombok. Riel melaporkan beberapa perahu Bugis secara berkala berlayar dari Ampenan, Labuhan Tring ke Padang Raja
Kemudian pada awal-awal abad XIX di Lombok Barat muncul dua pelabuhan yang penting yaitu pelabuhan Tanjung Karang dan Ampenan. Tanjung Karang merupakan pelabuhan kerajaan Karangasem Sasak, sedangkan Ampenan adalah pelabuhan kerajaan Mataram. Muncul juga pelabuhan Padang Reak (Reja) agak ke Utara, hampir semua syahbandarnya adalah orang Bugis. Demikian juga Bandar-Bandar yang lebih kecil di Lombok Timur di bawah kekuasaan orang Bugis. Bandar adalah kepala pelabuhan kecil yang berada di bawah Syahbandar (di Lombok juga disebut Subandar), seperti bandar Baba Jawa, bandar Barade (orang Bugis).
Lalu lintas perdagangan di Lombok sangat tergantung pada peredaran angin musim. Angin musim tenggara yang berembus dari bulan Mei-November membuat pelabuhan Ampenan menjadi sangat tenang dan bagi berlabuhnya kapl-kapl dagang. Apabila angin musim barat berembus dari bulan Desember-April, maka gelombang air laut dipantai barat Lombok menjadi besar, sehingga kapal-kapal dapat berlabuh di Pelabuhan Tring.
Di Lombok seorang petualang Bugis Anachoda Ismaila dengan dua ratus orang pasukannya setiap saat menganggu para pedagang di kawasan ini. Ia bersekutu dengan raja Mataram dan G.P King seorang subandar Inggris yang telah bermukim di Lombok. la menjadi pengawal yang tetap raja Mataram dalam setiap pertempuran. Kapal-kapal yang berlabuh di Selat Lombok menjadi sasaran gerombolan ini. Sunda Kedl merupakan tempat operasi orang Bugis ini, karena kekuatan Belanda di kawasan ini relatif lemah.
G.P King adalah seorang pedagang yang bersal dari Inggris. Dia datang ke Lombok pada tahun 1832 yang selanjutnya tinggal di Lombok. Ia melakukan perdagangan berpindah-pindah antara Bali dan Lombok. Pada tahun 1835 King berhasil mendapat izin berdagang dari Raja Mataram. Dengan syarat harus membayar 2.000 gulden setiap tahun kepada raja. King juga mengadakan persekutuan dengan perusahaan Jardin Matheson & Co.
( Parimarta, 1993 : 62 )
Pada waktu terjadi pertikaian di Jembrana, orang Bugis me­mainkan peranan yang penting membantu seorang Punggawa I Gusti Ngurah Pasekan memberontak raja. Pasekan sebenamya digerakkan oleh kekuatan orang Bugis akhirnya mendapatkan kemenangan. Dalam sumber-sumber gerakan orang Bugis di Jembrana membantu Pasekan sering disebut gerakan Islam atau Islam movement.
I Gusti Ketut Jelantik patih yang menentukan kerajaan Buleleng melihat potensi dari pada orang Bugis ini. Di Jembrana membentuk pasukan orang Bugis di bawah pimpinan Pan Kelab, untuk mem­persiapkan menghadapi serangan Belanda. Pasukan ini turut membantu Jelantik dalam perang Buleleng tahun 1846. Setelah Buleleng jatuh, pasukan Bugis ini dapat menyelamatkan diri kembali ke Jembrana. Jelantik sendiri mempunyai kepercayaan dan pengawal yang tetap terdiri dari orang Bugis, seperti juga raja Badung mempunyai pengawal orang Bugis dan pulau Serangan.
Zollinger dalam perjalanannya ke Bali, turut serta menyaksikan peristiwa penyerangan Buleleng. Menurut laporannya, tanggal 28 Juni 1846 Singaraja mulai ditembaki kapal-kapal Belanda yang berlabuh di Buleleng. Turut serta membantu penyerangan ini kapal King dari Lombok yang mengangkut pasukan-pasukan orang Sasak dan Bugis daTi Bali. Sebuah perahu Bugis yang bertiang dua dan dua buah perahu Bugis yang besar, yang juga berisi pasukan orang Bugis.
Dalam geguritan Uwung Buleleng disebutkan sebelum pe­perangan, orang Bugis sibuk membuat benteng pertahanan dengan pasukan Jelantik. Benteng Buleleng dipertahankan Jelantik dengan bantuan laskar Bugis. Serdadu Belanda dengan kekuatan 600 marinir mengepung benteng dari kiri kanan. Dalam pertempuran satu lawan satu pertahanan terakhir rakyat Buleleng ini dapat direbut, dengan korban empat puluh orang pasukan Bugis dan 59 serdadu Belanda tewas dan beberapa orang yang luka-Iuka. Disebutkan bahwa orang Bugis di Buleleng terbagi menjadi dua kelompok. Pertama mereka yang berada di pihak Buleleng dan ikut aktif dalam peperangan mempertahankan Buleleng. Kelompok kedua mereka yang berada di pihak netral tetapi ikut menyoraki kekalahan Buleleng, pihak ini pula yang memanfaatkan kesempatan merampas harta benda setelah perang selesai.
Besoknya 29 Juni Belanda mulai memasuki kompleks puri, setelah sebelumnya membakar rumah-rumah di sekitarnya, termasuk perkampungan orang Bugis yang ditinggalkan untuk menyelamatkan diri. Di kampung Bugis ini diketemukan puing-puing Al Qur'an yang berbahasa Arab, juga dapat direbut panji-panji perang. Seorang Bugis yang paham hetul tentang lokasi medan memberikan penjelasan secara detail mengenai keadaan sekitar Singaraja. Peranan orang Bugis dalam bidang pemerintahan (politik) tidak begitu berarti tetapi ada beberapa individu yang bergerak dalam hal ini.
Mustika 1855 mewakili masyarakat Bugis Jembrana bertindak sebagai punggawa, menghadap kontrolir di Singaraja memprotes tindakan raja I Gusti Ngurah Paseban yang memerintah dengan sewenang-wenang.
Pada tahun 1860 dari 29 desa di Jembrana, empat desa teruntuk desa-desa orang Islam Bugis yakni desa-desa Air Kuning, Banyubiru, Pengambengan, dan Loloan dengan kepala desa masing-masing: Ider, Kamar, Bun, Mustika. Mereka juga telah menjadi anggota subak yang aktif sekaligus turut menjadi mengurusnya.
Perampokan terhadap perahu-perahu masih tetap terjadi, bahkan sering disertai dengan pembunuhan. Tahun 1830 kampung Cina di Kuta terbakar, banyak barang yang dirampok. Tahun 1835 Kapten Michielsen telah mengunjungi beberapa pelabuhan di Bali dan sempat berperang dengan bajak laut yang masih berkeliaran. Bahkan pada bulan Juli 1845 kapal Belanda yang terdampar di Serangan dirampas oleh orang Bugis.
Apabila kita melihat Sumbawa, rupanya sejak abad XVII daerah ini terutama pesisir utara telah menjadi pengaruh yang kuat dari kerajaan Makassar (Goa). Menurut H. Geertz, yang mengutip Goethals, selama 400 tahun yang lalu, hampir sepanjang waktu, pantai utara Sumbawa telah mengalami dominasi orang-orang Makassar dalam berbagai bentuk. Pada waktu tertentu, daerah ini diperintah langsung oleh Makassar. Pada waktu yang lain hanya diperintah oleh "bajak Iaut" yang datang menyerang. Dalam buku harian tulisan tangan yang diketemukan di Bima, disebutkan Bima abad XVIII mempunyai hubungan yang erat dengan daerah Sulawesi Selatan, terutama dengan kerajaan Makassar. Raja-raja Bima dan seluruh keluarganya mempunyai hu­bungan darah yang dekat dengan bangsawan Makassar.
Pada tahun 1624, raja Segening dari Gelgel (Bali) pemah mengadakan perjanjian dengan Sultan Alaudin, raja Makassar mengenai pembagian kekuasaan di sebelah Timur. Tetapi perjanjian tahun 1624 itu tidak kekal. Rupanya perjanjian itu retak karena perebutan wilayah kekuasaan antara kedua kerajaan di Sumbawa menjadi sebab terputus­nya perjanjian. Pada tahun 1632 kerajaan Makassar dan Bali ada dalam keadaan permusuhan. Selanjutnya Sumbawa yang menjadi daerah perebutan, akhirnya menjadi daerah takluk Makassar dan kemudian menjadi daerah pengaruh yang kuat kerajaan Makasaar.
Hal yang menyebabkan tidak kekalnya perjanjian diatas adalah penaklukan kerajaan Goa atas Kerajaan Bima, Kerajaan Tambora dan Kerajaan Sanggar serta Dompu pada tahun 1633. Tindakan kerajaan Goa ini sesungguhnya telah melanggar perjanjian antara kerajaan Goa dengan kerajaan Gelgel. Namun pada waktu itu tidak diperhatikan oleh kerajaan Gelgel karena pada waktu itu kerajaan ini masih berkonsentrasi melawan Kerajaan Mataram di Lombok. ( Lukman, 2005 : 18 )
Apabila kita lihat perjanjian Bungaya atau Cappayari Bungaya atau dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah Het Bongaisch Verdracht, yang ditanda tangani 18 Nopember 1667, dalam pasal 14 menyebutkan bahwa kerajaan Goa harus menyerahkan Bima dan daerah taklukan­nya.
Pada masa pemerintahan Raja Goa ke-9, Daeng Matanra Karaeng Tumapkrisi Kallonna yang memerintah 1510-1546 berhasil memper­besar pelabuhan Makassar. Pada waktu itu pelabuhan Makassar ber­kembang sangat pesat setelah jatuhnya Malaka pada tahun 1511. Demikian pula hubungan Makassar dengan kerajaan-kerajaan lain makin maju seiring dengan majunya perdagangan, karena Makassar telah memiliki armada perahu dagang yang bersenjata dengan meriam­-meriam, sehingga jaya di laut. Demikian pula untuk melindungi daerah taklukannya, seperti Temate, Ambon, Gorontalo, Timor dan Sumbawa. ( Suwitha, 2001 )
Apabila kita hubungkan aktivitas militer orang Bugis ini, baik sebagai perampok di laut atau aktivitasnya membantu raja di kawasan ini, menunjukkan orang Bugis ini sangat pemberani. Sunda Kecil merupakan operasinya karena kekuatan Belanda di kawasan ini relatif lemah. Dalam perang Mengwi-Badung tahun 1891 orang Bugis dari Pulau Serangan juga berperan menentukan kemenangan kerajaan Badung.

Kesimpulan
Bajak Laut di seluruh Dunia mempunyai beberapa sebuatan tergantung dari daerah atau kawasan temapt mereka beroperasi Seperti : Bajak Laut, Corsario, Bucanerom, Filibustero
Kedatangan Orang Bugis ke Sunda kecil mudah diterima oleh raja-raja karena orang Bugis ini mempunyai reputasi di laut dan juga reputasi dalam bidang militer. Reputasi dilaut karena kepandaiannya menguasai laut dan pelayaran dapat dimanfaatkan oleh raja pantai. Bugis merupakan salah satu suku bangsa pelaut yang sudah lama mengembangkan kebudayaan maritim. Mereka juga mempunyai kemampuan karena memiliki kapal dagang sendiri yang lebih memungkinkan mereka dapat menguasai perekonomian kerajaan. Baik sebagai pedagang, perantara, eksportir, importir maupun sebagai pedagang rentenir.
Sunda kecil merupakan salah satu tempat yang sangat menguntungkan bagi para Bajak Laut karena daerah ini merupakan daerah yang pengamanannya relatif renggang oleh pemerintah VOC dan Hindia Belanda pada waktu itu. Kebanyakan dari bajak laut ini berasal dari Orang Bugis karena mereka pada waktu itu sangat menguasai pelayaran dan perdagangan dikawasan ini. Orang Bugis ada juga yang melakukan kolaborasi dengan penguasa di kawasan ini untuk melawan pemerintahan VOC dan Kolonial Belanda pada waktu itu.
Daftar Rujukan
Lapian, B. Adrian. 2009. ORANG LAUT BAJAK LAUT RAJA LAUT : Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX. Jakarta : Komunitas Bambu
Lukman, Lalu. 2005. Pulau LOMBOK dalam SEJARAH : DITINJAU DARI ASPEK BUDAYA : Jakarta : Depdikdud
Suwitha, I Gede Putu. 2001. ARUNG SAMUDRA : Persembahan Sembilan Windu A. B Lapian. Jakarta : Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Lembaga Penelitian UI
Parimarta, I Gede. POLITIK DAN PERDAGANGAN DI LOMBOK ABAD XIX : Artikel di SEJARAH : Pemikiran Rekonstruksi, Persepsi. Jakrata : MSI dan PT Gramedia Pustaka Utama
Agung, Anak Ketut. 1990. KUPU KUPU KUNING YANG TERBANG DI SELAT LOMBOK : Lintasan Sejarah Kerajaan Karang Asem ( 1661-1950 ). Jakarta : Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan
Http: www.wikipedia+bajak+laut+di+dunia.html. Diakses pada tanggal 1 Desember 2010 pukul 19.45




1 Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Sejarah Angkatan 2007 Off B. Ditulis untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Maritim yang dibina oleh Dr. Abdul Latief Bustami

Sabtu, 23 April 2011

budaya sebagai sebuah konsep perjuangan

seorang dosenq pernah mengatakan, makan adalah kebutuhan tetapi cara makan adalah budaya. kalau dilihat term diatas mengindikasikan sebuah konsep yang membawa kita kepada pemaknaan dari budaya itu sendiri. dalam era kosmopolitan saat budaya sebagai hasil cipta dan rasa manusia telah mengalami pegeseran makna. budaya telah beralih dari tindakan konkrit menjadi tindakan abstrak. contoh nyata dari ini adalah dalam konsep pergaulan sekarang. banyak orang yang seneng meniru hasil budaya orang dan tidak mampu menunjukkan identitas budayanya sendiri.

Kamis, 14 April 2011

SUBJEKTIVITAS DAN OJEKTIVITAS DALAM SEJARAH

Husnul Yakin

ABSTRAK

Kata Kunci : Subyektivitas, Obyektivitas.

Kajian makalah ini membahas tiga permasalahan yaitu (1) pengertian tentang subyektivitas dan obyektivitas (2) factor-faktor yang mempengaruhi subyektivitas dalam sejarah (3) bagaimana penulisan sejarah itu agar tidak terlalu obyektif dan subyektif. Mengenai pengertian dari subyektivitas dan obyektivitas, secara oposisi biner sederhana bahwa subjektif itu memihak dan obyektif itu tidak memihak. Pengertian ini kemudian penulis kewmbangkan dengan beberapa rujukan seperti Muh.Ali, Louis gotschalk, sartono kartodirdjo. Kemudian factor yang mempengaruhi subjektivitas dan obyektivitas dibagi kedalam empat bagian yaitu sikap berat sebelah, Prasangka Kelompok,interpretasi yang berlainan tentang faktor sejarah dan pandangan dunia yang berbeda. Didalam tulisan juga akan disebutkan kesalahan-kesalahan sejarawan ketika menulis cerita sejarah seperti : kesalahan pemilihan topic, kesalahan pengumpulan sumber, kesalahan verifikasi, kesalahan interpretasi, kesalahan penulisan.

Pendahuluan
Di antara pertanyaan mendasar yang muncul ketika kita membaca sejarah adalah apakah sejarah yang kita pelajari dan baca itu memang objektif, atau ia tidak lebih dari gambaran penulis yang telah dipengaruhi oleh berbagai macam nilai? Tulisan ini akan menghadirkan
Pengkajian sejarah menjadi subjektif ketika subjek yang tahu, yaitu sejarawan, ikut hadir di dalamnya. Dan pengkajian menjadi objektif ketika hanya objek penulisan sejarah yang dapat diamati. Subjektivitas ini terjadi, di antaranya, ketika sejarawan membiarkan keyakinan politik dan etisnya ikut berperan serta. Dengan kata lain, ketika nilai-nilai yang dianutnya turut memainkan peran dalam proses pengkajian sejarah. Subjektivitas juga terjadi ketika sejarawan menghadirkan gaya penulisan atau pendapat-pendapatnya yang benar atau tidak benar secara ilmiah.
Pembahasan
Menurut kamus filsafat Subjektivitas adalah
1. Mengacu ke apa yang berasal dari pikiran ( kesadaran, diri, dan bukan dari sumber-sumber objektif ).
2. Apa yang ada dalam kesadaran tetapi tidak mempunyai acuan objektif diluar atau konfirmasi yang mungkin. Sedangkan Objektif menurut Muh.Ali : Objektif berarti seperti objek : foto sebuah botol adalah objektif karena foto tersebut tepat seperti kenyataan ( Ali. 2005 )
Sejarah dibuat oleh manusia berdasarkan fakta-fakta atau warisan masa lalu. Manusia disini adalah subyek sejarah, fakta atau warisan adalah obyek. Betapapun obyektivitas diusahakan, obyektivitas itu tenggelam dalam kesubyekan. Sebab untuk menjadi sejarah, obyek itu harus ditafsirkan oleh subyek. Tanpa penafsiran obyek itu akan menjadi hambar. Obyek yang ingin memberikan gambaran tentang dirinya, tidak berbicara sendiri, tetapi bicara melalui subyek. Karena itu, subyektivitas itu akan lebih banyak mendapat kesempatan bicara. ( Gazalba, 1981 )
Penyebab dari hal-hal diatas adalah : 1. fakta-fakta yang dapat diambil dari sumber-sumber sejarah hanya merupakan sebagian kecil sekali dari kenyataan. (2) psikologi manusia tidak mungkin dapat menguasai fakta-fakta seluruhnya, seandainya semua fakta dapat disediakan.(3) manusia mengadakan seleksi berdasarkan minat perhatiannya; fakta-fakta yang ternyata tidak lengkap sama sekali itu masih disaring lagi berdasarkan pendiriannya; justru karena ia adalah seorang manusia yang berpribadi, ia harus dan mesti memilih.
Menurut Poespoprodjo, obyektivitas adalah ketidaktersembunyiannya realitas, jadi yang ditunjuk adalah barang itu sendiri. Sebagai subjektivitas yang berada di dunia, manusia membuka selubung realitas, ia membiarkan barang-barang itu berada baginya. Tetapi, ia membiarakan barang-barang tersebut berada sebagaimana adanya. Jejak-jejak masa lampau “ dibiarkan “ sebagaimana adanya, jadi tidak di bengkokkan sesuai dengan kepentingannya sendiri bila ia seorang sejarawan. ( Poespoprojo, 1987 )
B. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Subyektivitas Dalam Sejarah
1. Sikap berat sebelah pribadi
Adalah rasa tidak senang terhadap individu maupun jenis-jenis orang.
  1. Seorang nasionalis unitaris seperti Moh. Yamin memuliakan gajah mada sebagai pahlawan persatuan, sebagai democrat, sebagai pendekar kedaulatan Indonesia.
  2. Hamka sebagai seorang ahli agama Islam yang mencintai dan membela agamanya menyatakan bahwa Gajah Mada berusaha menguasai umat Islam di sekitar Selat Malaka. Baginya, Gajah Mada itu seorang Hindu yang ingin menguasai Nusantara dengan kekerasan senjata.
2. Prasangka Kelompok
Adalah anggapan-anggapan yang dikandung masing-masing sejarawan sebagai anggota sesuatu kelompok, baik kelompk nasional, keagamaan maupun social. Sejarawan Indonesia akan mempunyai pandangan lain mengenai Trikora dengan sejarawan Belanda. Sejarawan Islam akan berpandangan lain mengenai Perang Salib dengan sejarawan Kristen.
3. Interpretasi berlainan tentang faktor sejarah
Adalah tafsiran lain-lain mengenai apa sesungguhnya pengaruh yang terbesar terhadap terjadinya sesuatu peristiwa. Apakah, misalnya saja yang paling menentukan bagi kemenangan kita pada tahun 1949. ada yang mengatakan factor politik internasional ( meliputi factor diplomasi ) kita, ada yang mengatakan factor militer ( berhasilnya gerilya kita ), ada pula yang mengatakan faktor ekonomi ( perlunya Belanda lekas membangun kembali negerinya sesudah perang dunia II )
4. Pandangan dunia yang berbeda-beda
Pandangan dunia yang berbeda-beda akan membawa pengaruhnya di dalam penulisan sejarah, terutama sekali akan nampak dalam sejarah dunia. Sejarawan keagamaan tentu saja lain tafsirannya dibandingkan dengan dengan sejarawan Marxis.

Hal-hal yang harus dilakukan untuk menghindari subjektivitas dalam historiografi
1. Peranan Human Richnes.
Maksudnya disini adalah kekayaan intelektual dari seorang sejarawan yang harus dimiliki ketika menulis sejarah, karena keberhasilan karya sejarah banyak sekali bergantung pada seluruh disposisi intelektual sejarawan. Kenyataan yang banyak berseluk beluk dan bersimpang – siur dalam praktek sangat menuntut pandangan yang eksplisit reflektif formal dari seorang sejarawan supaya dapat ditangkap dengan tepat.
2. Titik berdiri-profil
Maksudnya disini adalah bagaimana kita menangkap sesuatu ketika suatu objek kita pandang dari sudut pandang tertentu. Misalnya punggung soeharto yang sekarang saya lihat, sesudah saya tadi melihat wajahnya tanpa melihat punggungya, adalah punggung soeharto yang sama yang tadi saya lihat wajahnya. Maka, kalau disimpulkan, saya menangkap kesatuan dan keseluruhan objek yang saya tangkap lewat suatu rangkaian yang tak putus-putusnya dari profil-profil yang bersesuaian dengan banyak titik berdiri ( standpoints ) yang tak terhingga jumlahnya.
3. Mengenali anasir sumber distorsi
Ketika kita menulis sejarah, maka kita akan memasuki kedalaman subjektivitas, yakni kedalaman kemerdekaan ( untuk mengakui atau menolak, apakah saya merdeka betul tidak diikat oleh sesuatu sehingga bias mengatakan sesuatu sebagaimana mestinya ).
PENUTUP
Kesimpulan
  1. Sejarah dibuat oleh manusia berdasarkan fakta-fakta atau warisan masa lalu. Manusia disini adalah subyek sejarah, fakta atau warisan adalah obyek. Betapapun obyektivitas diusahakan, obyektivitas itu tenggelam dalam kesubyekan. Sebab untuk menjadi sejarah, obyek itu harus ditafsirkan oleh subyek. Tanpa penafsiran obyek itu akan menjadi hambar. Obyek yang ingin memberikan gambaran tentang dirinya, tidak berbicara sendiri, tetapi bicara melalui subyek. Karena itu, subyektivitas itu akan lebih banyak mendapat kesempatan bicara.
  2. Faktor-faktor yang mempengaruhi penulisan sejarah adalah
    1. sikap berat sebelah pribadi
    2. Prasangka Kelompok
    3. Interpretasi berlainan tentang factor sejarah
    4. Pandangan dunia yang berbeda-beda

Daftar Rujukan
  1. Gazalba, Sidi. Pengantar Sejarah Sebagai Ilmu. Jakarta : PN Bhratara Karya Aksara, 1981
  2. Ali, Moh. Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia. Yogyakarta : LKiS Pelangi Aksara, Agustus 2005.
  3. Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta : Yayasan Bentang Budaya, November 2001.
  4. Kuntowijoyo. Penjelasan Sejarah.Yogyakarta. Yogyakarta : Tiara Wacana, Februari 2008.
  5. Gottschalk, Louis. Mengerti Sejarah.
  6. Poespoprodjo, DR. Subjektivitas Dalam Historiografi. Bandung : Remaja Karya CV, 1987.

PERDAGANGAN BERAS DAN PERPOLITIKAN DI LOMBOK PADA ABAD KE XIX

Pulau Lombok adalah sebuah pulau kecil yang terletak di antara Pulau Bali dan Sumbawa di bagian timur Indonesia dan, kini termasuk daerah Propinsi Nusa Tenggara Barat. Le­taknya di antara S012' - 9°1' Lintang Selatan dan 115°44'-116°40' Bujur Timur dengan luas lebih kurang 5.000 kilometer persegi.
Perdagangan beras di Lombok hampir ti­dak dipegang oleh orang Lombok. Kegiatan perdagangan berskala besar baik ekspor maupun impor dipegang oleh orang Cina, Arab dan Bugis, serta Eropa. Kegiatan per­dagangan ini telah menimbulkan pusat-pusat perdagangan antara lain, seperti: Ampenan, Tanjung Karang (di pantai barat), Labuhan Haji, Peju (di pantai timur), dan Sugian (di pantai utara).
Pada tahun 1830-an ada empat kerajaan Bali yang berkuasa di Lombok, yakni: Ka­rangasem-Sasak yang terkuat, disusul Mata­ram, Pagesangan, dan Pagutan. Selain itu masih terdapat daerah-daerah yang dikuasai oleh para bangsawan Sasak yang bergelar datu atau raden Kedatangan Lanang Karan­gasem di Lombok mendorong perpecahan antara Mataram dan Karangasem-Sasak. Terjadi persaingan antara kerajaan Karangasem Sasak dengan Kerajaan Mataram yang dimenangii oleh Mataram.
Setelah menguasai Bali, maka Belanda melakukan berbagai usaha dilakukan pemerintah ko­lonial Belanda untuk menguasai Lombok. Menteri koloni, Baud menganggap bahwa Kerajaan Mataram merupakan bagian dari Karangasem, Bali. Untuk itu Baud meng­usulkan kepada gubemur jenderal untuk membuat perjanjian dengan Raja Karang­asem (Bali), dan memberikan gambaran me­ngenai konsep kontrak-kontrak yang harus diwujudkan. Pembicaraan tentang Lombok semakinn hangat di kalangan para pejabat kolonial Belanda. Pada 13 Juli 1842, Gubemur Jenderal Merkus mengirim utusan, Komisaris Huskus Koopenan untuk membuat perjan­jian dengan raja Mataram. Setelah itu Belanda mulai menancapkan kekuasaannya di Lombok setelah perang besar yang disebut dengan Perang Lombok.





Daftar Rujukan
Anonim. 1964. Surat-Surat Perdjanjian Antara Keradjaan-keradjaan Bali-Lombok dengan Pemerintah Hindia Belanda 1841-1938. Djakarta : Arsip Nasional Republik Indonesia
Parimarta, Wayan. 2001. ARUNG SAMUDRA : Persembahan Memperingati Sembilan Windu A.B. Lapian. Jakarta : ppbk UI
Pariamarta, Wayan. 1993. SEJARAH : Pemikiran, Rekonstruksi, Persepsi. Jakarta : MSI & PT. Gramedia Pustaka Utama
Wacana, Lalu. 1979. Babad Lombok. Jakarta : DEPDIKBUD
Ricklefs. 2009. SEJARAH INDONESIA MODERN. Jakarta : PT. SERAMBI ILMU SEMESTA.


Senin, 04 April 2011

Sex Bebas Remaja

dunia bebas remaja akhir-akhir ini sungguh memprihatinkan, hal ini disebabkan karena pergaulan remaja saat ini cukup bebas.